Polri, Kesadaran Akan Sejarah  

Hila Bame

Tuesday, 01-07-2025 | 10:34 am

MDN

 

Bagian (3) habis.

Oleh: Suryadi

Pemerhati Budaya & Kepolisian

JAKARTA, INAKORAN

HOEGENG juga menceritakan, seorang wanita yang kebetulan keturunan Cina, berusia sekitar 30 tahun. Ia terlibat somokel (penyelundupan) di Makassar. Tetapi, ia cerdik dan berusaha membebaskan diri karena memiliki relasi banyak pejabat penting, seperti kepolisian, ketentaraan, dan kejaksaan agung.

BACA: 

Polri, Kesadaran Akan Sejarah  

Dalam memerjuangkan agar kasusnya dideponir, perempuan cantik itu memeroleh saran-saran bantuan dari relasinya. Suatu hari relasinya datang ke ruang kerja Hoegeng dan minta agar kasus perempuan itu dideponir saja. “Ia sudah membantu banyak tokoh penegak hukum, antara lain juga dari kepolisian,” ungkap Hoegeng mengulang alasan relasi perempuan itu kepadanya. (1993: 315).

Menanggapi hal itu, Hoegeng hanya mengatakan, akan memelajari kasusnya, sebelum mengambil keputusan. Tak mungkin ia menolak mentah-mentah, mengingat   yang datang itu kenalan baiknya juga. Hoegeng merasa, setelah itu, selesailah perjuangan mereka sebagai “penegak hukum” membantu rekannya.

Setelah beberapa hari kemudian, saat ia sedang di kantor, Hoegeng menerima telepon dari istrinya, Mery di rumah. Mery mengabarkan ada tamu seorang Cina dari Makassar dan meninggalkan banyak hadiah. Alamatnya  ada. Hoegeng kepada Mery minta agar menunggunggu sampai ia pulang.

Ketika sampai di rumah, Hoegeng mendapati hadiah itu banyak sekali, antara lain mesin cucii listrik, alat-alat elektronik, dan bahan-bahan pakaian. Banyak lagi hadiah yang lain. Kemudian, peti ditutup kembali dan dikembalikan ke Alamat pengirim. Yang Hoegeng tak habis mengerti, setelah peti itu dikembalikan, datang relasi si cantik itu untuk meyakinkan Hoegeng dan mengatakan, hadiah itu bukan suap melainkan tanda penghormatan padanya.

Kepadanya terus terang saya katakan, “…Saya tidak suka. Hadiah-hadiah itu saya kembalikan sebab wanita itu masih dalam perkara. Cara yang terbaik baginya menyatakan hormat kepada saya, adalah membantu saya menegakkan hukum dan bukan begini. Juga you, tidak ikut sampur dalam hal ini.”    

Terakhir, aku Hoegeng, yang ia dengar, perkara si cantik, terus bergulir sampai ke pengadilan. Ia divonis hukuman penjara. Terakhir, kabar burung yang Hoegeng dengar, wanita cantik yang berusaha menyuapnya dengan berbabagai hadiah itu, pernah mengrobankan kecantikannya kepada pejabat tertentu agar mau membantunya.

Pada 1980-an, di Pasar Tengah Tanjungkarang, Lampung (dekat rumah makan Fajar, waktu itu), angkot-angkot Tanjungkarang – Kedaton dan Tanjungkarang – Perumnas Wayhalim, sering mangkal di situ secara melanggar hukum. Namun, para sopir  mendadak tak berkutik ketika seorang polantas alm. Serka Putu Mastra bersepeda motor tiba-tiba muncul di dekat mereka.

Selanjutnya? Tak satu pun SIM dan STNK sopir angkot ditangkap. Satu per satu mereka dijeweri dan diperingatkan agar tak lagi mangkal di situ, Hari-hari berikutnya, hal serupa masih terjadi, meski sudah jarang.

Mereka yang sudah berulangkali atau memang tak punya SIM dan tidak pula membawa STNK, baru Pak Putu tak segan-segan bertindak tegas, menilang STNK dan SIM (waktu itu masih laminating sendiri). Kepada  mereka diwajibkan mengikuti sidang di Pengadilan. Rupanya Pak Putu telah bertindak persuasif edukatif terhadap sopir-sopir angkot yang nakal.   

Di tahun 1980-an juga, di daerah Jember yang wilayahnya berbatasan dengan Kalibata Lor, Lumajang, Jawa Timur, ada “kejadian besar. Dinilai berkat “jasa besar” seorang anggota  Polisi lalu Lintas (Polantas) juga, kejadian itu terungkap. Namanya, Saturman (alm). Dinasnya di Jember, namun ia berasal dari Kalibata Lor.

Dalam ingatan Siti (54), yang kini bekerja di Depok, Pakdenya itu tergolong bijaksana dan suka menolong sesama. Suatu ketika terjadi pembunuhan seorang perempuan oleh suaminya. Tetapi,  pengakuan suami, istrinya itu hilang.

Ketika 40 hari kemudian terungkap, penduduk tak ada yang berani mengangkat jenazah korban dari “kubur paksa”, Saturman dengan suka rela yang mengangkatnya dari dalam kubur. Belakangan, berkat telusur yang dikembangkan reserse polisi berdasarkan informasi Saturman dan penduduk, terungkap ternyata si perempuan itu dibunuh oleh suaminya sendiri.

Tak cuma itu. Saturman di mata penduduk Kalibata Lor, dinilai sangat berjasa mengungkap semacam kasus calo tenaga kerja yang merugikan penduduk desa setempat. Dulu banyak tentangganya yang dibohongi dimintai sejumlah uang, kemudian diberi seragam.

Kemudian, orang-orang kampung berseragam itu, dipekerjakan berjaga di tepi-tepi jalan raya. Sopir-sopir bus dan truck yang lewat distopi dan dimintai sejumlah uang. Tentu saja, sopir-sopir itu menolak dan mengancam balik. Saturman memeroleh informasi tersebut.

Berbekal informasi Saturman, petugas Kepolisian yang membidangi, segera menelusuri. Terungkaplah, ternyata warga desa sudah dikibuli diberi seragam tapi lebih dahulu dimintai uang. Mereka dipekerjakan menyetopi mobil-mobil bus dan truck yang lewat, dan memintainya uang.

Berkaca

WAKIL Presiden I RI, Bung Hatta dan Kapolri Hoegeng dikenal jujur, tidak mengada-ada. Karenanya, mereka hidup sederhana. Tidak banyak tuntutan, baik dari dirinya sendiri maupun dorongan dari keluarga intinya, agar hidup bermewah-mewahria alias berlebihan.

          Bung Hatta hingga kini dikenang sebagai Bapak Koperasi, sebuah perekonomian yang didadasarkan atas pengelolaan dan untuk pemenuhan kebutuhan anggota. Mungkin pas kalau disebut ekonomi gotong-royong. Keuntungan dipetik untuk kepentingan anggota dan bersama.

          Demikian pula halnya dengan Hoegeng, yang kebaikannya terus dikenang oleh rakyat dan para anggota Polri. Setiap jelang Hari Bbayangkara, sekurangnya dalam 3 – 4 tahun terakhir ini, namanya senantiasa digunakan untuk sejumlah keteladanan. Namanya, di-award-kan untuk berbagai kategori keteladanan. Mungkin terlalu berat bila tak dikategorikan atau menilai setiap yang masuk dalam nominasi atas keseluruhan keteladanan Hoegeng.   

 Kebaikan mereka selalu dikenang untuk diteladani. Mereka tak hanya sederhana untuk diri sendiri, tapi berani mengambil risiko hidup pas-pasan. Perjalanan hidup, disadari atau tidak mereka sadari, adalah mendidik.

“Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari kedudukan Wakil Presiden, maka diberitakan bahwa ia hanya memiliki uang Tabungan Rp200. …juga pernah diberitakan koran bahwa Bung Hatta uamg pensiunnya terlalu kecil, untuk memenuhi kewajibannya membayar uang langganan listrik! Beliau tidak mengeluh. …,” ungkap Hoegeng (1993: 316). Agaknya, Hoegeng menjadikan Hatta yang jauh lebih tua daripadanya, sebagai teladan.  

Hatta dan Hoegeng mendidik agar bangsa ini, termasuk polisi Indonesia, benar-benar menjadi penegak hukum yang jujur. Sebagian keteladanan mereka, sudah menurun kepada Putu Mastra, Saturman, dan masih banyak polisi yang lain, meski agaknya mereka tak seberani Hatta dan Hoegeng.   

Mungkin benar kata Kapolri Sigit, masih lebih banyak anggota Polri yang baik. Diam-diam berbuat baik. Tentu saja, mereka yang tidak mementingkan diri sendiri, dengan mengabaikan rakyat yang sudah menjadi kewajiban mereka untuk diurusi dan diabdi.

Persoalannya, apapakah masih mau meneruskan kebiasaan masa lalu, “Mengoknumkan” setiap kali terdapat kejadian buruk yang melumuri nama institusi?  Lantas, menjawabnya, dengan berkaca pada ungkapan lama “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.

Terlalu banyak yang perlu dibenahi, terutama kultur sekadar atau formal memerbaiki citra. Citra yang “ditampilkan” hendaklah yang sesungguhnya. ”Inner beauty”, cantik itu dari dalam, kata ungkapan dalam dunia kecantikan. Sehingga, dengan begitu, ringan dan pantas menyatakan, “Bagaimana pun kami adalah Polri”. 

Dengan begitu, Polri tidak mencari permakluman, bahwa “Polisi juga manusia”. Justru pernyataan “Polisi juga manusia” menjadi pengakuan tulus dari masyarakat, yang seharusnya dillayani, ditertibkan, dan diayomi. Bahkan, di saat memang harus, maka ketegasan yang mengemuka demi tegaknya hukum dipandu oleh ketinggian moral. Luhur!

Kata filsuf Socrates, “Introspeksi adalah proses refleksi diri yang mendalam”. Barangkali, kalimat ini pas untuk Polri yang kembali berulang tahun pada 1 Juli 2025. Selamat!**      

 

TAG#SURYADI, #POLRI

201379550

KOMENTAR