Polri, Kesadaran Akan Sejarah

Bagian (2) dari tiga tulisan
Oleh: Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian
JAKARTA, INAKORAN
DALAM kesahajannya yang serba tertib dan banyak orang menganggapnya kaku, pada 1971 Bung Hatta dibiayai negara melalui Sekretariat Negara (Setneg) berobat ke luar negeri. Didampingi Sang Istri, Rahmi Hatta dan putri bungsunya, Halida Nuriah Hatta, ia berobat ke Belanda.
Di masa lalu, negeri dan Bangsa Belanda adalah penjajah bangsa dan Tanah Airnya. Belanda sekaligus juga negeri nostalgia Hatta. Di sanalah ia menamatkan kuliah ekonomi dan di sana pula tertanam kenangan perjuangan untuk Indonesia Merdeka (Baca Dr. Deliar Noer, “Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa: 2012: 17 – 34)
BACA: Polri, Kesadaran Akan Sejarah
Bung Hatta beserta istri dan putri bungsusnya juga ke Austria. Sekembali di Tanah Air, Bung Hatta segera minta sekretaris pribadinya, Pak Wangsa membuat surat pengembalian uang ke Sekretariat Negara (Setneg). Karena, memang ada kelebihan uang dari Negara. Kemudian, setelah surat pengembalian dibuat, Pak Wangsa sendiri yang mengantarkannya. Tetapi, Bendahara Kepresidenan enggan menerimanya.
Pak Wangsa pulang sambil bawa uang lebih tadi, melapor kepada Bung Hatta, “Bendahara Setneg bilang, uang yang sudah dikeluarkan adalah dianggap syah menjadi milik orang yang dibiayai, tidak usah dikembalikan. Uang itu adalah uang saku tambahan.”
Menerima laporan itu, Bung Hatta malah menegur Pak Wangsa, “Kebutuhan rombongan dan kebutuhan saya sudah tercukupi, jadi ini harus kembalikan.” Di mata Gemala, putri kedua Bung Hatta, “Dengan demikian, prinsip Ayah adalah itu bukan uangku, kembalikan kepada Negara.”
Akhirnya, Pak Wangsa kembali lagi ke Setneg. Dengan berbagai cara ia memaksa mengembalikan uang sisa perjalanan rombongan Hatta kepada Bendahara Keprsidenan. Setelah ada bukti tanda terima pengembalian, barulah Hatta puas. Sementara Pak Wangsa yang dibuat stress dalam situasi demikian itu, kepada Gemala mengungkapkan, “Saya jadi bahan tertawaan semua orang di Setneg.”
Seperti pada ”Tertib Menggunakan Uang Negara” dalam “Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya”, Gemala menulis tentang prinsip Sang Ayah terhadap yang bukan haknya, “…sampai titik darah penghabisan pun tetap saja beliau tak akan menerimanya. Tidak peduli jumlahnya berapa. Itulah contoh orang berprinsip.” (2015: 165 – 166)
Soal kejujuran sebagai sebuah nilai dan keberanian memertahankan kejujuran, juga terungkap dari Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. tentang Kapolri ke-5 (1968 – 1971), Hoegeng pada tulisan berjudul ”Godaan Buat Pejabat Negara” dalam buku “Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan”.
Pengakuan Hoegeng, “…yang lebih berat adalah apabila dikeroyok rekan-rekan sendiri. Baik dari Kepolisian atau bukan, untuk meremehkan hukum dan menomorsatukan kepentingan pribadi atau keluarga, atau lebih mengutamakan pemeliharaan hubungan baik dengan relasi (yang gampang memberi “hadiah”) ketimbang memelihara tegaknya hukum dan peraturan” (1993: 312). Untuk semua itu, Hoegeng berani menundukkan dirinya sendiri.
Begini ceritanya. Sesuai janji per telepon, suatu pagi di kantornya sebagai Menteri/ Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak), Hoegeng menerima tamu wanita cantik (tak disebutkan namanya) keturunan Cina dari Makasar.
Semula perempuan itu tampak takut-takut. Toh ia masuk juga. Dia bilang, “Saya cuma ingin bertanya, Mas Hoegeng. Bagaimana mobil barunya? Katanya, Mas Hoegeng punya sedan Marcedes baru”. Hoegeng malah balik berkata, “Jangan macam-macam, saya tak punya Mercedes. Bahkan, tak punya sedan pribadi.”
Seperti tak kehabisan akal, perempuan itu mengaku, memang ia sudah menduga begitu. Oleh karena itu, ia memberanikan diri menghadap Hoegeng. Dari situlah laporannya bermula. Menurutnya, seorang laki-laki bernama Jawa keturunan Cina (tak disebutkan namanya) punya piutang kepadanya. Lama ia tak bayar hutang.
Sampai-sampai ia mengancam akan melapor ke polisi. Bukannya takut, laki-laki itu malah balik bertanya, kepada siapa ia akan melapor. Ketika disebutkan akan melapor kepada Pak Hoegeng, laki-laki itu malah balik menyergah, “Mana bisa, beberapa minggu yang lalu lalu, ia baru saja saya beri Mercedes”.
Merasa pernah membaca nama laki-laki yang disebutkan si perempuan tadi, Hoegeng segera memanggil stafnya, Katik Soeroso untuk membawa buku hitam Polri. Buku ini berisi nama orang-orang yang harus ditangkap sebagai tersangka, untuk diproses dan diajukan ke pengadilan. Buku Hitam juga memuat identitas pribadi dan lain-lain, termasuk foto yang bersangkutan (mungkin sekarang Daftar Pencarian Orang, DPO).
Seraya memerkenalkan perempuan tadi kepada Katik Soeroso, lantas Hoegeng meneliti nama-nama di buku hitam. Benar saja, ada nama tersebut di dalamnya. Ketika hal itu diperlihatkan, si perempuan pelapor tadi membenarkan, “Ya Mas Hoegeng, betul!”.
Menurut data kepolisian, laki-laki itu tersangka kelas kakap. Pengaduan tentangnya datang dari Padang, Medan, Kutaraja, dan Jakarta. Perempuan pelapor itu adalah orang terakhir yang megadukannya dan ia meminta agar laki-laki itu segera ditahan.
“Saya tahu, dia segera mau ke Singapura sore ini, pukul 18.00,” info perempuan itu lagi. Atas permintaan Hoegeng, sore itu Imigrasi Bandara Kemayoran memberi info balik telah menahan laki-laki yang dimaksud.
Laki-laki itu kemudian ditangkap oleh Polisi di Bandara Kemayoran dan selanjutnya mengantarkannya ke tahanan. Perkaranya diproses sampai ke Pengadilan.
Rupanya, nama Hoegeng sebagai pejabat, sudah cukup komersil kalau disalahgunakan orang lain. Atas kenyataan itu, Hoegeng hanya bisa geleng kepala.

KOMENTAR