Gus Dur dan Gelar Pahlawan Nasional 2025

Hila Bame

Monday, 27-10-2025 | 14:53 pm

MDN

 

 

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Gus Dur telah diusulkan resmi oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI) ke "Dewan Gelar" RI untuk ditetapkan mendapat "gelar" Pahlawan Nasional dalam momentum Hari Pahlawan Nasional 2025 -  jelas tidak bisa diringkas hanya karena beliau pernah menjadi Presiden RI. 

Peran, kontribusi, "legacy" dan amal jariyah kebangsaan Gus Dur begitu beragam dan panjang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih dari sekedar layak untuk ditetapkan sebagai penerima "gelar" Pahlawan Nasional oleh Presiden RI dalam momentum Hari Pahlawan 2025.

Peran Gus Dur yang paling mendasar adalah meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara dalam suasana kebatinan publik, sebuah keyakinan kebangsaan  bersifat final, titik pijak seluruh pandangan kebangsaan Indonesia, bukan sekedar hasil kompromi politik

Bagi Gus Dur sebuah negara kebangsaan sulit mengembangkan diri jika masih menyisakan pertentangan ideologis tentang dasar negara misalnya antara Islam versus Pancasila atau Pancasila hanya dibaca sebagai hasil kompromi umat Islam menerimanya sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam perspektif Gus Dur - tentu sejauh dalam tafsir penulis, Pancasila akan rapuh sebagai dasar negara jika sekedar dimaknai pilihan kompromistis bagi sebuah negara bangsa ("nation state") dengan mayoritas mutlak populasi penduduknya muslim sebagaimana sering terjadi di periode awal kemerdekaan kita. 

Dalam konteks itu Gus Dur meletakkan Islam bukan ideologi politik alternatif yang harus dipertentangkan dengan Pancasila. Islam dalam kehidupan publik adalah sistem nilai seperti prinsip keadilan, kesetaraan, dll,  yang dapat diinjeksikan dalam sistem nilai Pancasila.

Itulah yang disebut oleh Gus Dur bahwa relasi Islam dan Pancasila adalah relasi yang bersifat "komplementer", saling melengkapi, bukan relasi bersifat "head to head", saling diperhadapkan dan saling meniadakan satu sama lain.

Dengan kata lain, Pancasila adalah Islam itu sendiri dalam "wajah pribumisasinya" di Indonesia di mana negara sebagaimana doktrin Islam menjamin hak hak kesetaraan warga negara, termasuk umat beragama bebas beribadah menurut ajaran agamanya masing masing.

Gus Dur sangat memahami suasana kebatinan dan imajinasi tokoh tokoh politik Islam, termasuk tokoh politik NU di masa lalu, selalu berjuang untuk menjadikan Islam sebagai "dasar negara" sejak dalam rapat rapat di Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Juni 1945 hingga sidang "konstituante" tahun 1956 - 1959.

Dalam konstruksi itu, sebagai strategi jalan kebudayaan Gus Dur berpuluh puluh tahun menulis di media cetak dengan cara "unik", ia menulis tentang kiai dan pesantren, dua identitas kultural NU  di majaleh "Tempo" dan harian "Kompas", dua media Nasional "papan atas" yang dipersepsi ummat Islam di masanya sebagai media "sekuler".

Ini tentu dimaksudkan bukan sekedar untuk memperkenalkan tentang NU kepada khalayak umum (non NU) melainkan juga menghadirkan sebuah perspektif bahwa kiai dan pesantren memiliki caranya sendiri untuk adaptasi terhadap pembaharuan dan modernisasi pembangunan yang digalakkan rejim Orde Baru.

Di sisi lain, Gus Dur justru banyak menulis di majalah "Aula", milik NU atau harian "Pelita" milik PPP - umat Islam, tentang urgensi negara demokrasi - bukan "negara Islam", tentang "Hak Asasi Manusia dll, untuk memperkenalkan wacana baru bukan saja asing di kalangan NU di masanya, bahkan tak jarang dituding wacana "kafir".

Karena itu, Gus Dur acapkali kontrovesial,  tidak selalu diterima tokoh tokoh politik Islam, bahkan di kalangan NU sendiri, dituding liberal, merusak "harmoni" umat dan "dibully" habis, dipandang melemahkan spirit dan semangat perjuangan politik umat Islam "Vis a Vis" negara Orde baru.

Itulah perjuangan  politik Gus Dur begitu panjang dan rumit membuka jalan kesadaran demokrasi dalam "double track", melalui penguatan pranata masyarakat sipil terutama warga NU yang dipimpinnya sekaligus  "penyeimbang" atas monopoli politik rejim "Orde Baru".

Ia memimpin NU bukan untuk "tukar tambah" konsesi politik dengan rejim Orde Baru melainkan menarik NU ke ruang percakapan tentang pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ia ditopang oleh penguasaannya terhadap teori ilmu ilmu sosial "barat" dan beragam ideologi dunia sama fasihnya dengan penguasaannya terhadap khazanah "kitab kuning", literatur khas pesantren di mana ia lahir dan bertumbuh.

Gus Dur dengan segala "zig zag" dan manuver manuver politiknya yang tak jarang kontroversial bukan saja dalam kerangka membentuk kematangan psyikhologis kalangan umat Islam, khususnya warga NU yang dipimpinnya tentang pentingnya keniscayaan demokrasi dalam konteks negara kebangsaan 

Lebih dari itu dalam kerangka "sublimasi", sebuah penguatan instrinsik atas hasil Muktamar NU ke 27 tahun 1984 bahwa Pancasila adalan Islam dalam "wajah Pribumisasinya"  di Indonesia, bersifat final bagi bangsa Indonesia yang beragam dan majemuk.

Dalam konteks peran dan kontribusi yang paling mendasar bagi Indonesia inilah, hemat penulis, Gus Dur lebih dari sekedar layak untuk ditetapkan mendapat "gelar" Pahlawan Nasional dalam momentum Hari Pahlawan Nasional 2025.  
 

 

TAG#ADLAN, #GUSDUR

211574520

KOMENTAR