Aktivis Perempuan Keberatan dengan Ketentuan Dispensasi Usia Kawin

Sifi Masdi

Sunday, 15-09-2019 | 11:12 am

MDN
Ki-ka: Andi Yulianis Paris, Sudiro Asno, Genoveva Alicia saat konfrensi pers terkait pembahasan UU Perakwaian, Jakarta, Jumat (13/9/2019) [inakoran.com/Ina Tv]

Jakarta, Inako

Aktivis perempuan yang diwakili  Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Koalisi 18+ menyayangkan ketentuan dispensasi kawin dalam pembahasan Perubahan UU No 1 Tahun 1974 antara DPR dan Pemerintah.  Pasalnya, ketentuan dispensasi dapat menjadi pintu masuk kekerasan seksual untuk mengancam anak-anak Indonesia dan dilegitimasinya perkawinan usia anak.

Foto bersama dengan nara sumber, Jakarta, Jumat (13/9/2019) [inakoran.com/Ina Tv]

 

Menurut Genoveva Alicia dari       Koalisi 18+, pengajuan dispensasi merupakan praktik yang dilakukan untuk menerobos batas usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan berada pada batas 16 tahun untuk anak perempuan atau 19 tahun untuk anak laki.

Simak video InaTv terkait UU Perkawinan dan jangan lupa klik "subscribe dan like".

Ia menambahkan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU  Perkawinan memperbolehkan adanya “penyimpangan usia kawin” di bawah pengaturan Pasal 7 ayat (1) dengan permintaan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat  lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak laki-laki atau pihak perempuan.

“Sayangnya, ketiadaan penjabaran yang jelas mengenai ketentuan dispensasi ini menyebabkan dalam praktiknya ketentuan ini diterapkan dengan standar yang berbeda-beda dalam setiap Pengadilan,” kata Genoveva dalam konfrensi pers di gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Ia mengakui bahwa berdasarkan penelitian bersama yang dilakukan Koalisi 18+ dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) hampir 97,34 persen, Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dispensasi yang diajukan 96 persen diantaranya oleh orang tua. Rentang umur subjek yang dimintakan dispensasi kawin ini, berkisar dari 10 hingga 16 tahun untuk perempuan dan 15 hingga 19 tahun untuk laki-laki. Tidak hanya itu, penelitian juga mengkorfimasi adanya fenomena penggunaan ketentuan dispensasi kawin oleh pedofil untuk melegal aksinya.

Peserta  yang menghadiri konfrensi pers UU Pekawinan, Jakarta, Jumat (13/9/2019) [inakoran.com/Ina Tv]

 

Seperti diketahui bahwa kasus dispensasi antara anak perempuan dan laki-laki dewasa yang terpaut jauh dan sempat  menjadi perhatian publik adalah kasus Syekh Puji dan LU yang pada tahun 2008, orang tua LU mengajukan dispensasi nikah kepada PA Kabupaten Semarang. Pada saat itu usia Syekh Puji adalah 43 tahun dan usia LU 12 tahun. Tekanan publik yang sangat tinggi  pada waktu itu, menyebabkan hakim menolak pengajuan orang tua LU. Namun akhirnya Syekh Puji dan LU tetap melangsungkan perkawinan setelah LU menginjak usia 16 tahun.

Dengan mengacu pada fenomena ini, Genovea mengatakan bahwa prosedur dispensasai  yang ada saat ini, sangatlah mudah dijadikan “alat” legalisasi aksi pedofilia dan pelaku kekerasan  seksual anak tidak hanya karena adanya ketidakjelasan dalam pengaturannya, namun juga karena ada kegagalan hakim di Pengadilan Agama untuk melakukan seleksi terhadap pemohonan  yang mana seharusnya dikabulkan dan mana yang tidak.

“Ketidakjelasan kententuan mengengai pembuktianm menyumbangkan peran yang sangat besar dalam hal ini. Berdasarkan penelitian yang sama, ditemukan hakim sangat jarang mencari tahu apa sebenarnya penyebab pengajuan dispensasi,” tambahnya.

 

KOMENTAR