Apakah Pejabat itu Penguasa atau Pemimpin (?).

Hila Bame

Tuesday, 27-07-2021 | 11:10 am

MDN

 


Oleh : Adlan Daie
Analis politik /Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.

JAKARTA, INAKORAN


Judul diatas adalah pertanyaan klasik dalam khazanah ilmu sosial dan politik, tidak sederhana dirumuskan dalam jawaban tunggal kecuali sedikit dapat digambarkan bahwa seorang pejabat karena otoritasnya adalah pemimpin minimal di lingkup area tugasnya.

Akan tetapi tidak jarang tingkah laku, rantai protokoler dan gaya bicara pejabat ibarat penguasa. Pamer ancaman dan sesekali pura pura menjadi orang kaya bagi bagi amplop. Rakyat diminta bergotong royong membantu Pemerintah tapi desain kebijakannya dijauhkan dari proses "gotong royong" gagasan rakyat.


BACA:  

IKI & LSM Lainnya Temukan beberapa Anak Yatim tidak Miliki NIK sebagai Syarat Vaksinasi Nasional


Dulu sebagaimana dicatat Peter Cerey dalam bukunya "Dandless And The Sacred Space Of Java" (2013) Dandless hadir di Indonesia (baca: Hndia Belanda) awal abad ke 19  mencoba merubah kultur birokrasi dari "pangreh praja" ke "pamong praja", dari kultur "penguasa" ke "pengayom" sipil.

Sayangnya gagal dan, kegagalan itu hingga Indonesia hari ini  menurut Antropolog Prof Dr. Koentjaraningrat, karena mental dan kultur "priyayisme" terlalu membatin menguasai alam pikiran dan minset para pejabat, gagal disentuh dengan pendekatan reformasi kelembagaan birokrasi.


BACA:  

Info Rupiah Hari Ini, 27 Juli 2021


Pejabat publik atau "Political Appointy", baik karena diitunjuk maupun dipilih melalui mandat suara rakyat di level jabatan mana pun potensial bertransformasi menjadi penguasa  jika cara pandangnya meletakkan jabatan dan otoritas kewenangan yang  dimilikinya hanya sebagai alat setting regulatif disesuaikan dengan nafsu kepentingan politiknya.

 Bahkan untuk menundukkan rival rival politik dan "menyekat" pikiran publik atas nama hukum dan undang undang.

Inilah embrio korupsi politik otoritarian yang membuat "jengah" batin publik.


Sebaliknya pejabat publik tentu saja  adalah pemimpin jika standart otoritas jabatannya dimaknai tidak hanya di level  boleh dan tidak boleh secara minimalis melainkan dinaikkan ke level lebih tinggi, yakni nilai kepantasan di ruang publik.

Titik simpul kekuatannya tidak sekedar bersandar ansich pada kewenangan nya  melainkan kekuatan keteladaan, magnit pengaruh yang terpancar dalam diri kepemimpinannya, mampu menggerakkan spirit perangkat dibawahnya dan menginjeksi perubahan sosial publik. Inilah pejabat yang pemimpin dan "influencer".

BACA:  

Kepemimpinan Gus Muhaimin dan Refleksi Harlah PKB ke-23


Tentu tidak mudah melahirkan pejabat publik dalam level kepemimpinan diatas,  tidak cukup hanya modal popularitas dan elektabilitas lalu menjadi pejabat kecuali disempurnakan dengan minimal menurut Kattelen A. Ellen, tiga variabel lain, yakni integritas, tidak miskin ntelektualitas dan "power of influencer", (wibawa dan pengaruh).


Pejabat tipologi pemimpin inilah yang mulai "habis stok" kita temui hari ini. Mereka lebih di drive mekanisme pasar politik jauh dari proses "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah" sebagaimana dulu dimiliki para pejabat pemimpin di era awal kemerdekaan.


Hal yang sedikit tersisa dapat kita lakukan di era di mana demokrasi mulai terancam mati suri adalah minimal kita mensubsidi nutrisi intelektualitas dan tukar tambah gagasan  di ruang publik agar para pejabat hari ini berproses menjadi pemimpin sambil mengontrol nya secara "chek and balance" agar mereka tidak melompat menjadi "penguasa pangreh praja". Diselamatkan dari kemungkinan penyakit "post power syindrom" akut saat tiba waktunya kehilangan jabatannya.

Wassalam !
 

KOMENTAR