Belajar Hikmat Hidup dari Leo Tolstoy 1

Oleh
Dr. Fransiskus Borgias MA
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung
Pada tahun 2009, pada awal bulan September, dalam sebuah perjalanan ke Kupang, NTT, saya membaca sebuah buku dari pengarang Russia, bernama Leo Tolstoy. Buku itu berjudul “Tuhan Mahatahu, Tetapi Dia Menunggu.” Menurut saya itu adalah sebuah buku yang sangat menarik. Buku itu adalah sebuah kumpulan cerpen pendek. Di dalam buku ini total ada sebelas cerpen yang indah dan menarik. Judul-judul cerpen itu ialah sbb: Ilyas, Sebutir Gandum di Tanah Tuhan, Setelah Pesta Dansa, Alyosha, Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia menunggu, Berapa luaskah Tanah yang Diperlukan Seseorang?, Tujuh Belas Tahun Kemudian, Ziarah, Kebahagiaan Keluarga, Tuhan dan manusia, Matinya Ivan Illich.

Dari kesebelas cerita pendek ini saya paling tertarik dengan cerita yang berjudul “Berapa Luaskah Tanah yang Diperlukan Seseorang?” Judul ini muncul berupa sebuah pertanyaan reflektif yang sangat menantang bagi manusia, baik itu dari dulu maupun hingga sekarang ini. Jelas, pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang sangat penting (eksistensial) karena menyangkut tanah. Memang manusia erat terkait dengan tanah, mungkin karena manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah, sebagaimana dikatakan dalam beberapa kitab suci dan dalam beberapa ritual gereja. Secara singkat inilah inti dari kisah tersebut.
Alkisah, di sebuah negeri ada seseorang yang bernama Pakhom. Ia adalah seorang yang rajin dan sangat tekun bekerja. Oleh karena itu, hasil dari kerjanya yang rajin dan tekun itu ia bisa hidup dengan bahagia. Itu sebuah hukum yang sangat jelas dalam hidup di dunia ini. Walaupun mungkin di sana-sini ada kekecualian juga. Tetapi si Pakhom itu adalah tipe orang yang sangat rakus. Oleh karena itu, ia tidak pernah mudah menjadi puas dengan apa yang sekarang ini sudah ia capai dan ia nikmati. Ia selalu ingin lebih dari yang kini ada, melampaui apa yang saat ini dimilikinya. Tangannya selalu ingin menggenggam lebih banyak dari yang sesungguhnya dapat ia pegang. Mulutnya ingin mengunyah lebih banyak dari apa yang secara wajar ia bisa kunyah.
Maka untuk mewujudkan mimpinya itu, ia pun pergi mengembara ke negeri orang-orang Bashkir yang terletak di sebuah negeri yang teramat jauh. Sebuah negeri antah berantah. Dikatakan bahwa mereka ini mempunyai tanah yang sangat luas. Pakhom pun segera mencari informasi tentang cara pergi ke sana, yaitu menuju ke tanah itu. Setelah didapatnya informasi itu, ia pun segera pergi ke sana seraya membawa buah tangan untuk nantinya diberikan kepada orang-orang di sana sebagai hadiah. Pakhom meninggalkan tanah kelahirannya sendiri dan segera menuju ke sebuah tanah impian.
Setelah ia tiba di sana, ternyata ia diterima dengan baik oleh orang-orang Bashkir. Setelah terjadi perkenalan timbal balik yang secukupnya, maka ia pun segera memberitahukan niatnya kepada mereka, yaitu bahwa ia mau membeli tanah mereka. Niat dan permintaan itu pun dikabulkan. Tetapi untuk itu harus terlebih dahulu dibuatkan satu perjanjian. Perjanjiannya sangat sederhana saja: ialah satu rubel tanah sehari. Semula Pakhom tidak mengerti apa maksud dari perjanjian yang sederhana itu. Maksudnya ialah sbb: berapa pun tanah yang dapat dikelilinginya dalam sehari, harganya hanya satu rubel. Tetapi dengan satu syarat yaitu bahwa ia sudah harus kembali ke tonggak patok awal tepat sebelum matahari terbenam. Pakhom sangat senang mendengar ketetapan dan perjanjian itu. Ia yakin bahwa itu adalah sebuah persyaratan yang sangat sederhana. Ia yang rakus, membayangkan ia akan segera mempunyai tanah yang luas dengan harga yang sangat murah: satu rubel.
Keesok harinya: patok awal pun ditetapkan. Maka Pakhom pun mulai berjalan dari tonggak awal itu. Ia diikuti para penunggang kuda dan pembajak untuk menandai tanah yang sudah diklaim Pakhom sebagai milik yang akan dibelinya. Karena rakus, maka ia pun berjalan jauh hampir tanpa menoleh lagi ke belakang yaitu ke tonggak awal ia berangkat. Karena sangat ingin memiliki tanah yang sangat luas, maka ia pun terus berjalan dan berjalan, dan ia lupa kembali ke titik awal dari mana ia berangkat.
Setelah matahari mulai condong ke Barat, ia pun baru sadar untuk kembali ke titik tonggak awal tadi. Tetapi ia sudah berjalan terlalu jauh dalam rangka mengklaim tanah seluas-luasnya dengan harga satu rubel tadi. Ia tidak boleh berhenti pada titik di mana ia berada sekarang sebab ia harus kembali ke titik awal dari mana ia berangkat tadi pagi. Maka ia pun berusaha kembali ke titik awal berangkatnya. Tetapi sayang sekali, tenaganya mulai melemah dan melemah karena ia sudah berjalan terlalu jauh sepanjang hari itu. Namun kemauannya sangat keras; ia tidak mau putus asa. Ia tidak mau menyerah; ia terus berusaha sekuat tenaga untuk berjalan pulang kembali ke titik awal. Ia tidak mau berhenti. Badannya lemas; bahkan kakinya mulai berdarah-darah. Pada saat itu, ia sudah berjalan terseok-seok. Matahari pun sudah hampir terbenam; ia masih sangat jauh dari tonggak awal itu. Ia sudah sangat lelah. Tetapi ia terus berusaha kembali ke titik tonggak awal itu. Ternyata ia gagal untuk sampai. Tinggal beberapa meter saja ia sampai di tonggak awal. Tetapi saat itu juga matahari sudah terbenam. Persis pada saat itulah ia rebah dan jatuh. Dan ia pun mati karena kelelahan.
Karena dia sudah mati, maka orang-orang Bashkir pun menguburkan dia di sana, persis di atas tanah tempat ia jatuh terjerembab. Sangat ironis sekali: Ia ingin mempunyai tanah yang luas karena rakus, tetapi akhirnya ia hanya mendapat tanah seluas satu meter kali satu meter saja. Itulah tanah kuburnya. Ia mendapat tanah hanya seluas satu meter cukup untuk menjadi tempat ia dimakamkan. Hanya itulah yang bisa “dimilikinya” sekarang.
Kisah ini hanya mau mengatakan bahwa ternyata tanah yang akhirnya diperlukan orang hanya sekian jengkal saja, biarpun kita rakus dan berambisi besar untuk memiliki tanah yang luas. Pada akhirnya, tanah yang akan
“dimiliki” itu tidak akan lebih besar dari ukuran tanah untuk makam. Betapapun kita sudah berjuang keras dalam hidup ini untuk memiliki tanah yang luas (tanah yang luas adalah simbol dan representasi dari kekayaan yang berlimpah-ruah), toh pada akhirnya tanah yang akan diberikan kepada kita di akhir hidup kita tidak akan lebih luas dari ukuran badan kita saat kita mati dan dimakamkan. Kiranya pesan Tolstoy sangat jelas: Tanah itu bukan untuk dimiliki, melainkan terutama untuk dinikmati bersama-sama, di dalam kebersamaan dan solidaritas yang tinggi dengan sesama umat manusia.
TAG -
204131287
KOMENTAR