Birokrat dan Pelayan

Oleh : Mahpudin ( Advokat Peradi dan Dosen IAI & STIE Lathifah Mubarokiyah Suryalaya)
JAKARTA, INAKORAN
Pernahkah kita membayangkan suatu keinginan bahwa kita akan mendapatkan pelayanan birokrasi di Indonesia seperti halnya kita mendapatkan pelayanan oleh para pelayan di restoran atau cafe atau sektor usaha jasa swasta lainnya?
Suatu harapan yang terus dimunajatkan pada Tuhan ketika kita diperhadapkan dengan fakta lapangan yang terjadi pada layanan publik pemerintah yang masih belum beranjak memuaskan rakyat sejak reformasi birokrasi dikampanyekan sampai hari ini.
Walaupun demikian faktanya, kita tetap optimis atas harapan terjadinya reformasi birokrasi yang sesungguhnya.
Sepatutnya pula kita apresiasi terhadap ikhtiar pemerintah yang telah dan sedang berusaha keras memperbaiki kinerja aparatur negara sebagai pelayan rakyat .
Salah satu wujud kesungguhan pemerintah dalam ikhtiar ini adalah nomenklatur kementrian yang spesifik mengurus soal birokrasi ini terus berubah menyesuaikan dengan kondisi jamannya.
Terakhir kementrian yang mengurus soal hal ihwal kepamongprajaan ini bernama Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi disingkat (KEMENPAN RB) yang dinahkodai mantan aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) kader utama PDIP Tjahyo Kumolo.
BACA:
Ditilik dari historinya, sejak jaman raja-raja Jawa khususnya, dan raja-raja di nusantara pada umumnya, para punggawa yang bekerja di lingkungan kerajaan disebut abdi dalem atau abdi raja, bukan abdi rakyat.
Dalam kaitan itulah para abdi dalem dapat disebut kelompok birokrasi abdi dalem. Eksistensi mereka hanyalah untuk melayani kebutuhan raja beserta keluarga raja dan memperkuat kekuasaan raja.
Ketergantungan kuat pada raja menjadikan birokrasi pada saat itu sangat patrnalistik.
Kondisi demikian didukung oleh tradisi yang kuat sebagai sistem nilai dan dikokohkan oleh transaksi berupa upeti, srahsrahan atau pajak.
Hatta ketika Belanda menjajah bangsa ini, tradisi tersebut justru dipertahankan oleh Belanda karena menjadi jembatan emas dalam mencapai tujuan kolonialismenya.
Padahal ada kitab suci bagi para calon pemimpin atau penguasa dan para abdi dalemnya yaitu “Serat Wulangreh”. Wulangreh adalah karya istimewa gubahan Susuhunan Pakubuwono lV dari Keraton Surakarta Hadiningrat.
Alfian dalam bukunya menjadi Pemimpin Politik (Alfian, 2010) menjelaskan bahwa Wulangreh merupakan kitab yang didesain khusus bagi para calon pemimpin atau penguasa, Wulangreh berarti pelajaran, sedangkan reh mengandung makna penguasa atau pemimpin.
Karya ini dijadikan kurikulum rujukan untuk mengendalikan hawa nafsu para penguasa seperti pemahaman halal-haram, hidup sederhana, tidak sombong loyal pada negara, tidak berwatak pedagang, rendah hati dan adil.
Tujuannya tidak lain agar para penguasa atau pemimpin tidak kehilangan arah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dalam birokrasi Jawa, baik pada masa kerajaan maupun pada masa pendudukan Belanda telah dikenal istilah pangreh praja dan pamongpraja.
Adapun makna pangreh (pang dan reh) menunjukkan pada kekuatan penguasa atau pemimpin. Sedangkan Praja sendiri memiliki arti rakyat kebayakan, publik, masyarakat atau mereka yang dilayani.
Dalam konteks normatif, istilah praja identik dengan pegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil servant).
Sedangkan Muhadam Labolo dan Ahmad Averus Toana dalam bukunya yang menjadi bahan ajar bagi mahasiswa atau praja APDN/STPDN/IPDN yang berjudul Kepamongprajaan di Indonesia Pertumbuhan dan Perkembangannya (Ghalia Indonesia, 2016) menjelaskan bahwa pangreh praja lebih merujuk pada pejabat politik yang memiliki derajat kekuasaan dengan batas-batas tertentu.
Reh sendiri dalam etimologi asing sepadan dengan kata recht dalam bahasa Belanda yang bermakna hukum, aturan atau norma yang mesti ditaati.
Jika ditinjau dari perspektif pragmatis mereka adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada negara serta bekerja atas nama negara dan mendapat upah atau gaji dari negara.
Dalam kaitan itu, pamongpraja diartikan sebagai pegawai negeri yang mengurus pemerintahan negara. Jika dikaji dari aspek substansinya, pemahaman birokrasi sejak jaman kerajaan Jawa hingga kini dapat dibagi dalam dua level, yaitu kelompok pangreh praja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan atau kepemimpinan (cenderung bersifat dilayani), dan kelompok pamongpraja yang menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (berorientasi melayani).
Sistem demokrasi memaksa para birokrat mereformasi dirinya dan sistem birokrasinya menyesuaikan dengan kondisi jamannya.
Reformasi birokasi terus digulirkan, diseminarkan, dikampanyekan dan dijalankan sejak era reformasi 1998 menuju sistem birokasi yang melayani mewujudkan “Good Goverment” yang transparan, akuntable dan mensejahterakan rakyat.
Hari ini kita mendapati hampir di setiap instansi pemerintah terpampang spanduk Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK-WBBM).
Ada niatan baik yang patut diapresiasi dan didukung oleh rakyat walaupun pada prakteknya stackhleder terkaitlah yang terlibat langsung yang merasakan dan mendapati kampanye zona integritas ini sesuai dengan bunyi spanduk atau masih sekedar utopis atau bahkan terjadi ironi dan paradok.
Pada tataran teologis, kita membayangkan sebuah harapan pelayanan birokrasi ini seperti para Pelayan Tuhan di Geraja atau para Kiyai dan Ulama yang “Wara” yang melayani jemaat atau ummatnya tanpa diskriminasi dan tanpa pamrih apapun kecuali pamrih atas ke-Ridho-an Tuhannya, lillahi ta’ala.
Ketulusan dan keikhlasan totalitas dalam pelayanan dan melayani ini akan tercermin pada integritasnya. Pdt. Peter Angu dalam tulisannya tentang Integritas Diri Sebagai Karakter Pelayan Tuhan menjelaskan dengan sangat baik tentang integiritas ini.
Yang pada intinya menerangkan bahwa seorang pelayan ideal adalah seorang pelayan yang memiliki karakter-karakter luhur dan mulia, sehingga ia berwibawa dan menjadi saluran berkat Allah bagi orang lain. Dalam bahasa Islam ia menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘alamiin).
Rakyat bangsa ini sedang merindukan pelayan-pelayan yang mempunyai integritas diri untuk menjadi teladan dalam pengabdian dan ketaatan pada aturan agama dan negara. Andai saja doktrin filsafat jawa dan doktrin teologis ini mengejewantah dalam pikiran dan perbuatan para birokrat, betapa bahagianya rakyat negeri ini.
Bagaimana dengan birokrat Indramayu ? Kepemimpinan baru dengan tagline “Memimpin Dengan Hati” bermakna bahwa kepemimpinannya akan dijalankan berlandaskan pada ketulusan dan keikhlasan hati. Kepemimpinan yang bangun di atas landasan iman dan diperjuangkan secara gotong royong untuk mewujudkan keadilan yang berimplikasi pada kesejahteraan. Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah, ia adalah Kepala atau Komandan Birokrat dalam lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu yang berwenang dalam hal manajemen Aparatur Sipil Negara pada lingkup kewenangannya. Maka ia akan memimpin para birokrat sebagai Aparatur Sipil Negara, untuk selalu senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan individual ataupun kelompok. Memperhatikan aspirasi yang muncul dalam masyarakat dan sigap untuk melaksanakan tugas dalam melayani sebagaimana kita ingin dilayani bila berada di posisi mereka. Prasyarat mewujudkan hal ini adalah open biding terhadap pengisian jabatan tinggi pratama dan Direksi BUMD (PERUMDA) serta pengisian eselon dibawahnya berdasarkan merit sistem dan isi otaknya bukan berdasarkan “sasrahan” dan isi tasnya. Sebagai bentuk “antitesa” dan perubahan atas rezim sebelumnya.
Wallohu a’lam bisy-syowab.
**)Mahpudin ( Advokat Peradi dan Dosen IAI & STIE Lathifah Mubarokiyah Suryalaya)
KOMENTAR