BPJS Kesehatan Alami Defisit Hingga Rp 28,5 Triliun di 219

Sifi Masdi

Thursday, 22-08-2019 | 14:11 pm

MDN
Menteri Keuangan Sri Mulyani [ist]

Jakarta, Inako

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak mampu menutupi rasa marahnya terkait neraca keuangan BPJS Kesehatan yang hingga saat ini masih defisit alias tekor.

Sejak dibentuk tahun 2014, BPJS Kesehatan tercatat selalu mengalami defisit. Mulai dari defisitnya kecil hingga sekarang nilainya meroket tinggi. Lagi-lagi, pemerintah lewat Kementerian Keuangan harus turun tangan dengan memberikan suntikan modal.

Kemarahan Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini terjadi saat rapat kerja (raker) bersama Komisi XI DPR yang kebetulan membahas mengenai BPJS Kesehatan.

Instansi yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini total sudah menyuntikkan dana Rp 25,7 triliun sejak 2015-2018 untuk BPJS Kesehatan.

Namun, hal tersebut belum mampu menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Malah, Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan potensi defisit keuangan BPJS Kesehatan menjadi Rp 28,5 triliun untuk tahun 2019.

"Estimasi kita pada current running seperti ini Rp 28,5 triliun. Ini carried dari tahun lalu Rp 9,1 triliun plus yang ada tahun ini kan Rp 19 triliun," kata Kemal di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Dia menilai, salah satu untuk membenahi neraca keuangan BPJS Kesehatan saat ini adalah menaikkan iuran kepesertaan, perbaikan sistem layanan kesehatan, hingga meningkatkan pengawasan risiko.

Sejak tahun 2015, Kementerian Keuangan pun rutin menyuntik modal untuk menambal defisit, dengan rincian pada tahun 2015 diberikan suntikan sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 6,8 triliun, pada tahun 2017 sebesar Rp 3,6 triliun, dan tahun 2018 sebesar Rp 10,3 triliun. Jika ditotal maka jumlahnya Rp 25,7 triliun.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari tahun ke tahun tidak pernah terlepas dari permasalahan defisit anggaran. Bahkan, tercatat defisit itu terjadi sejak tahun 2014.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit keuangan alias tekor BPJS Kesehatan setiap tahunnya membengkak tinggi hingga saat ini.

"Kalau dilihat dari tahun ke tahun, pada 2014 defisitnya Rp 1,9 triliun," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Pada tahun 2015, kata Sri Mulyani defisit keuangan BPJS Kesehatan meningkat drastis menjadi Rp 9,4 triliun. Pada tahun 2016, defisit sedikit mengecil menjadi Rp 6,4 triliun.

Menurut Sri Mulyani, hal itu dikarenakan pada tahun 2016 terjadi penyesuaian iuran yang tertuang dalam Perpres. Di mana penyesuaian dilakukan setiap dua tahun sekali.

Penyesuaian iuran tidak memberikan angin segar untuk keuangan BPJS Kesehatan karena pasa tahun 2017 tercatat defisitnya melonjak menjadi Rp 13,8 triliun. Sedangkan di tahun 2018 atau tahun kemarin defisitnya melesat ke angka Rp 19,4 triliun.

Defisit alias tekornya keuangan BPJS Kesehatan selama beberapa tahun belakangan ini.

Sri Mulyani membuka penyebab keuangan BPJS Kesehatan tekor saat rapat kerja (raker) bersama Komisi XI mengenai pengesahan DIM RUU Bea Materai dan BPJS Kesehatan di ruang ruang rapat Komisi XI, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

"Karena BPJS Kesehatan tidak menerima iuran yang seharusnya dari peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta umum," kata Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini bilang, kewajiban pemerintah terhadap PBI selalu dipenuhi lewat alokasi anggaran di Kementerian Kesehatan. Bagitu juga dengan para PPU baik pemerintah maupun badan usaha selalu terpenuhi karena skema pembayarannya lewat pemotongan penghasilan, di mana sebagian ditanggung pemberi kerja dan peserta.

Namun untuk yang PBPU, kata Sri Mulyani merupakan peserta umum yang bisa dibilang seperti wiraswasta tercatat masih banyak yang menunggak pembayaran iuran namun tetap mendapat fasilitas layanan kesehatan.

Selain itu, Sri Mulyani mengungkapkan penyebab lain yang membuat keuangan BPJS Kesehatan tekor adalah manipulasi kelas rumah sakit yang masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN).

Dari hasil audit BPKP, Dia menceritakan, terdapat rumah sakit yang meningkatkan kelas demi mendapatkan dana yang lebih besar. Sebab rumah sakit memiliki klasifikasi dari kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D. Kelas A tentunya memiliki cost yang lebih mahal sedangkan kelas D paling murah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani [ist]

KOMENTAR