Harga Minyak Dunia Menguat 0,9%: Pasar Menanti Kesepakatan Dagang  AS dan China

Sifi Masdi

Tuesday, 10-06-2025 | 12:03 pm

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]


 

 

Jakarta, Inakoran,

Harga minyak dunia mengalami penguatan signifikan pada awal pekan ini, didorong oleh harapan akan tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan China. Para investor mencermati dengan seksama jalannya pembicaraan yang berlangsung di London pada Senin (9/6/2025), yang berpotensi memperbaiki prospek ekonomi global dan mendorong permintaan terhadap energi.

 

Mengutip laporan Reuters pada Selasa (10/6/2025), harga minyak mentah Brent naik sebesar 57 sen atau 0,9% menjadi US$67,04 per barel. Bahkan sempat menyentuh level US$67,12 per barel—angka tertinggi sejak 28 April. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS menguat lebih tajam, naik 71 sen atau 1,1% menjadi US$65,29, dengan level tertinggi sesi di US$65,38 per barel—tertinggi sejak awal April.

 

Penguatan ini juga didorong oleh pelemahan dolar AS sebesar 0,3%, yang membuat minyak menjadi lebih murah bagi pembeli dari negara dengan mata uang selain dolar.


Kinerja harga minyak pekan lalu juga menunjukkan tren positif, dengan Brent mencatat kenaikan 4% dan WTI naik 6,2%. Optimisme terhadap negosiasi dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia itu memicu minat risiko investor.

 

Menurut catatan dari Ritterbusch and Associates, firma penasihat energi, sebagian besar kenaikan harga kali ini bersifat teknikal. Mereka menekankan bahwa tanpa adanya kabar positif konkret dari negosiasi, reli harga ini bisa cepat mereda.

 


BACA JUGA:

IHSG Menguat 0,87% Pasca Libur Panjang

Harga Emas Antam Naik Rp 5.000 per Gram : Selasa (10/6/2025)

Harga Minyak Dunia Melemah: Dipicu Stok AS Melimpah


 

“Fokus utama pasar saat ini tertuju pada pertemuan dagang antara AS dan China,” tulis analis mereka. Pertemuan ini diawali dengan komunikasi via telepon antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pada Kamis lalu, sebelum delegasi kedua negara bertemu langsung di London.

 

Jika tercapai, kesepakatan tersebut diyakini akan memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya mendorong permintaan terhadap komoditas energi, termasuk minyak.

 

Meski begitu, sejumlah tantangan tetap membayangi. Analis pasar IG, Tony Sycamore, mencatat bahwa data ekonomi China yang dirilis baru-baru ini menunjukkan pelemahan. Ekspor China melambat ke level terendah dalam tiga bulan pada Mei, sementara deflasi harga pabrik menembus titik terburuk dalam dua tahun terakhir. Hal ini menunjukkan tekanan serius terhadap ekonomi domestik dan global dari China.

 

“Ini saat yang kritis bagi minyak mentah, karena harga WTI berada di ambang breakout teknikal di atas US$65,” ujar Sycamore.

 

Di sisi lain, impor minyak mentah China pada Mei turun ke level harian terendah dalam empat bulan, dipicu oleh aktivitas pemeliharaan kilang baik milik negara maupun independen.

 

Tetapi kekhawatiran pasar terhadap potensi peningkatan produksi oleh OPEC+ bulan depan tidak terlalu membebani harga. Pasalnya, produksi OPEC pada Mei justru tercatat lebih rendah dari yang direncanakan.

 

Menurut survei Reuters, OPEC memompa 26,75 juta barel per hari, naik 150.000 barel per hari dari April, dengan kontribusi terbesar datang dari Arab Saudi. Namun, penambahan ini masih dalam batas yang moderat, karena negara-negara seperti Irak bahkan melakukan pemotongan tambahan untuk mengimbangi produksi sebelumnya yang melebihi kuota.

 

 

 

KOMENTAR