Harga Minyak Mentah Kembali Anjlok, Terendah Sejak 2021

Jakarta, Inakoran
Harga minyak mentah dunia kembali mengalami penurunan tajam pada penutupan perdagangan Senin (5/5), menyentuh level terendah dalam lebih dari empat tahun terakhir. Keputusan OPEC+ untuk mempercepat peningkatan produksi menjadi faktor utama yang memicu kekhawatiran akan banjir pasokan di tengah prospek permintaan yang melemah.
Menurut laporan Reuters, harga minyak Brent turun 1,7% atau US$1,06 ke posisi US$60,23 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat turun 2% atau US$1,16 menjadi US$57,13 per barel. Kedua harga acuan tersebut kini berada pada titik terendah sejak Februari 2021.
Tekanan harga sudah terlihat sejak pekan lalu, di mana Brent melemah 8,3% dan WTI turun 7,5%, setelah Arab Saudi menyatakan kesiapannya menghadapi periode harga rendah yang berkepanjangan.
Analis dari Saxo Bank, Ole Hansen, menyebut bahwa keputusan OPEC+ telah meredam sentimen positif pasar terkait potensi perbaikan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China.
BACA JUGA:
IHSG Dibuka Menguat ke Level 6.860,44 : Selasa (6/5/2025)
Harga Minyak Anjlok 3,67% Usai OPEC+ Naikkan Produksi
Harga Emas Antam Naik Rp 26.000 per Gram: Selasa (6/5/2025)
Dalam pertemuan akhir pekan lalu, OPEC+ sepakat untuk kembali menaikkan produksi pada Juni sebesar 411.000 barel per hari (bph), melanjutkan tren kenaikan untuk bulan kedua berturut-turut. Total tambahan produksi selama April hingga Juni mencapai 960.000 bph, atau sekitar 44% dari pengurangan 2,2 juta bph yang diberlakukan sejak 2022.
Peter McNally, analis dari Third Bridge, mengingatkan bahwa produsen non-OPEC+—yang kini menguasai hampir 60% pasokan global—kemungkinan tidak lagi mendapatkan keuntungan dari peningkatan pangsa pasar jika pasokan terus berlebih dan harga terus tertekan.
OPEC+ juga tengah mempertimbangkan untuk sepenuhnya mencabut pemangkasan sukarela pada akhir Oktober, terutama jika tingkat kepatuhan anggota tidak membaik. Sumber menyebut Arab Saudi mendorong opsi ini untuk menekan negara-negara seperti Irak dan Kazakhstan yang kerap melanggar kuota produksi.
“Langkah peningkatan produksi yang dipimpin Arab Saudi bukan hanya untuk menantang dominasi minyak shale AS, tetapi juga sebagai bentuk sanksi terhadap anggota yang mengambil keuntungan dari harga tinggi namun tidak patuh terhadap batas produksi,” ujar Hansen.
Seiring dengan perkembangan ini, sejumlah lembaga keuangan global merevisi turun proyeksi harga minyak. Barclays memangkas proyeksi harga Brent untuk 2025 dari US$70 menjadi US$66 per barel, dan untuk 2026 menjadi US$60. ING juga menurunkan estimasi harga rata-rata Brent tahun 2025 dari US$70 menjadi US$65.
Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates memperkirakan stok minyak global akan terus meningkat dalam beberapa bulan ke depan, memperburuk sentimen pasar. Ia juga menyoroti potensi dampak dari kebijakan tarif yang diperkenalkan kembali pada era Trump.
David Wech, Kepala Ekonom Vortexa, menyebut bahwa sejak pertengahan Februari, stok minyak global naik sekitar 150 juta barel, baik di fasilitas penyimpanan darat maupun di kapal tanker.
Di sisi lain, Girish Saligram, CEO Weatherford International, memperingatkan bahwa harga minyak di bawah US$50 dapat menghambat keputusan investasi untuk proyek-proyek migas lepas pantai. “Jika harga terus bertahan di bawah US$50, maka banyak keputusan proyek baru yang akan ditunda,” tegasnya.
KOMENTAR