Islam Nusantara Berperan Cegah Penyebaran Paham Radikalisme

Sifi Masdi

Monday, 10-02-2020 | 10:20 am

MDN
Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradz (ke-4 dari kiri) menyampaikan sambutan dalam Simposium Nasional Islam Nusantara, di Kantor PBNU, Jakarta, Sabtu (8/2/2020) [dok:pribadi]

Jakarta, Inako

Islam Nusantara belum mempunyai definisi yang baku, yang disepakati banyak pihak, namun hal tersebut hendaknya tidak perlu diperdebatkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah ciri-ciri Islam Nusantara, yaitu ajaran Islam yang menyerap nilai-nilai budaya tradisional dan luhur kearifan lokal yang diyakini masyarakat Nusantara, serta dipraktikkan dan telah menjadi tradisi atau kebiasaan di masyarakat luas di tanah air.

Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia sejahtera.

 

Pernyataan ini diungkapkan oleh Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradz, dalam sambutannya mengawali Simposium Nasional Islam Nusantara, di Kantor PBNU, Jakarta, Sabtu (8/2/2020).  Aqil mengatakan bahwa  pendiri NU, KH Hasyim Asyhari, telah mengajarkan konsep "Hubbul Wathan" (cinta tanah air) kepada seluruh warga NU sebagai bagian dari keimanan umat Islam kepada Allah SWT.

Tjoki Aprianda Siregar, Pengamat Masalah-Masalah Kebangsaan [dok:pribadi]

 

Simposium tersebut dihadiri sejumlah narasumber tingkat nasional, dan beberapa tokoh, antara lain, Prof. Dr. Azyumardi Azra (cendekiawan Muslim yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Fachry Ali (pengamat politik), Prof. Dr. Susanto Zuhdi (sejarahwan maritim UI), KH. Agus Sunyoto, M.Pd (penulis dan sejarahwan yang juga Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU), Yahya Cholil Staquf (Khatib Am PB NU), dan Dr. Achmad Suaedy (Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia/Unusia).

Turut hadir dalam acara itu, Ketua  Umum Partai Kebangsaan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, cendekiawan Muslim liberal Ulil Abshar Abdalla, dan cendekiawan NU, Syafiq Hasyim, dan penulis dan pemerhati masalah-masalah sosial, Julia Suryakusuma. Simposium tersebut dihadiri sekitar 150 peserta.

Simposium berlangsung dalam 4 panel diskusi yang berlangsung secara paralel, yang membahas sumber-sumber tekstual-material dan otoritas keagamaan, perspektif Islam Nusantara terhadap minoritas, disabilitas, dan gender, agraria, pertanian, dan perubahan iklim, filantropi, keadilan, dan pengentasan kemiskinan, yang disampaikan para pakar, akademisi, dan praktisi/profesional yang relevan.

Menurut  Azyumardi Azra, konsep Islam Nusantara sesungguhnya telah disinggung  dalam suatu tulisan pada tahun 2001, jauh sebelum konsep ini pertama kali dicetuskan pada Muktamar NU tahun 2015. Ia menyarankan  salah satu upaya untuk  memasyarakatkan Islam Nusantara dengan efektif dan seluas-luasnya,  PBNU dapat memanfaatkan kader-kadernya di pemerintahan.

Sementara Susanto Zuhdi dalam paparannya, mengatakan bahwa Islam masuk ke kepulauan Nusantara karena diperkenalkan oleh pedagang-pedagang dari Gujarat (India) dan Timur Tengah awalnya ke Utara pulau Sumatera dan pulau Jawa.

Sedangkan KH. Agus Sunyoto, menjelaskan soal kelas sosial masyarakat pada zaman Kerajaan Hindu. Ia mengatakan kondisi sosial pada zaman Kerajaan Hindu terbagi dalam berbagai kelas, antara lain, Kaum Brahmana atau Pendeta Hindu menempati kelas sosial paling atas. Kedua, para ksatria atau pejabat pemerintah atau kerajaan, pedagang, pribumi di luar kategori brahmana, ksatria. Sedangkan kelas sosial paling bawah adalah para pencuri, pembunuh bayaran, dan pelaku tindak kriminal lainnya.

Ia menambahkan saat Islam masuk ke Kepulauan Nusantara, kehidupan masyarakat di kerajaan-kerajaan Nusantara  saat itu diwarnai oleh hubungan sosial seperti itu, dimana orang asing dimasukkan ke dalam kelas sosial terendah dan sama sekali tidak diperhitungkan.

“Masuknya Islam seiring dengan terbukanya hubungan dagang kerajaan-kerajaan itu mengubah hubungan sosial di masyarakat Nusantara, dimana para Wali dan ulama menempati kelas sosial paling tinggi dan pedagang asing berperan penting dengan munculnya kesultanan-kesultanan Islam menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu,” kata KH. Agus Sunyoto.

Terkait dengan konsep Islam Nusantara, Yahya Cholil Staquf dalam paparannya, mengatakan, Islam Nusantara  sesungguhnya lahir sebagai reaksi muncul dan merebaknya paham radikal dan radikalisme di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

“Untuk mengimbangi kelompok-kelompok Islam konservatif yang mempromosikan "Ukhuwah Islamiyah" (persaudaraan umat Islam) di Indonesia, kiranya NU dapat juga mengkampanyekan "Ukhuwah Wathaniyah" (persaudaraan sebangsa) selain "Ukhuwah Islamiyah",” tegas Yahya

Hal senada juga diungkapkan oleh Fachry Ali. Ia mengatakan bahwa konsep Islam Nusantara perlu digencarkan oleh warga NU. Menurut   Fachry, dalam rangka untuk memasyarakatkan konsep Islam Nusantara, perlu upaya serius dari  NU untuk menunjukkan bahwa konsep tersebut bukan hanya milik NU, namun milik seluruh masyarakat Muslim di Indonesia.

Salah satu upaya untuk memasyarakatkan Islam Nusantara diungkapkan oleh Achmad Suaedy. Ia mengatakan bahwa saat ini NU melalui perguruan-perguruan tingginya telah mendirikan Fakultas Islam Nusantara, termasuk di Universitas NU Indonesia di Jakarta. Saat ini terdapat 34 perguruan tinggi NU di Indonesia.

KH Said Aqil Siradz menambahkan di akhir rangkaian paparan para narasumber bahwa pesan yang tersirat dari Islam Nusantara adalah upaya untuk memelihara dan memajukan nilai-nilai budaya luhur Indonesia melalui tradisi dan kearifan lokal (home-grown cultural values and local wisdom) yang telah dipraktikkan masyarakat Muslim Nusantara selama berabad-abad, secara turun-temurun.

Sosialisasi Islam Nusantara

Menanggapi Simposium Nasional Islam Nusantara tersebut, Tjoki Aprianda Siregar, pengamat masalah-masalah kebangsaan, mengatakan bahwa melalui Simposium tersebut, NU tampaknya ingin mensosialisasikan ke publik mengenai Islam Nusantara, serta perspektif Islam Nusantara terhadap berbagai isu yang saat ini menjadi perhatian masyarakat di tanah air, termasuk kelompok minoritas, disabilitas dan gender, agraria, pertanian, perubahan iklim, filantropi, keadilan, dan pengentasan kemiskinan.

“Tantangan yang dihadapi NU adalah mengupayakan agar semua kelompok Islam di Indonesia menerima konsep Islam Nusantara ini, sehingga pemasyarakatannya akan dapat berlangsung dengan lancar,” tegas Tjoki.

Tjoki  mengakui pihaknya  sependapat dengan  yang diungkapkan oleh salah seorang pembicara, bahwa konsep Islam Nusantara bukan hanya milik NU, melainkan milik rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Tjoki menyarankan agar pihak ketiga, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, berinisiatif mengadakan konferensi besar dengan mengundang para pemimpin atau wakil-wakil ormas Islam Indonesia guna membahas definisi atau esensi Islam Nusantara dan perspektif Islam Nusantara terhadap berbagai isu penting yang lingkupnya lebih luas daripada isu-isu yang dibahas dalam panel-panel diskusi Simposium.

“Pemerintahnya hendaknya tidak lepas tangan terhadap arti penting Islam Nusantara dalam mencegah dan menangkal penyebaran pengaruh paham Islam radikal di Indonesia.” tambahnya.

Selain itu, Tjoki berpandangan, apabila pemerintah Indonesia masih berkomitmen untuk memajukan kebudayaan Indonesia sebagaimana wujud Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah perlu menunjukkan sikap konsisten, dengan mendukung pemasyarakatan Islam Nusantara, karena konsep Islam Nusantara antara lain adalah mengenai nilai-nilai luhur budaya nasional.



 

KOMENTAR