Kehadiran NU di Tiongkok Dapat Berperan Tingkatkan Hubungan Kerja Sama People-to-People Indonesia-Tiongkok

Sifi Masdi

Friday, 26-06-2020 | 12:04 pm

MDN
PCI NU Tiongkok [inakoran.com]

Jakarta, Inako

 “Tiongkok memang merupakan negara komunis, namun memiliki penduduk Muslim dalam jumlah cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan hubungan kerja samanya dengan Indonesia”, demikian disampaikan Nurwidiyanto, mahasiswa Indonesia yang tengah studi S3 di Tiongkok ketika menjadi narasumber dalam diskusi virtual yang diadakan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, pekan lalu.

Menurut Nurwidiyanto, jumlah WNI yang datang ke Tiongkok untuk studi di negeri itu cenderung meningkat setiap tahunnya.

Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like":

 

“Meningkatnya jumlah WNI yang datang ke Tiongkok dari tahun ke tahun, terutama untuk tujuan studi, membuat saat ini terdapat sekitar 14 ribu pelajar dan mahasiswa di Tiongkok, yang hampir tersebar merata di kota-kota besar. Keberadaan pelajar dan mahasiswa Indonesia itu dapat menjadi sarana perekat kedua negara, terlebih Indonesia merupakan negara dengan pendudik muslim terbesar di dunia. Artinya secara diplomasi, Indonesia memiliki peran besar untuk membantu meningkatkan kesejahteran dan perdamaian dunia,” katanya.

Tjoki Aprianda Siregar, Wakil Ketua ISNU DKI Jakarta [inakoran.com]

 

Salah satu ruang perekat kedua negara yakni dengan adanya Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Tiongkok sejak didirikannya NU di Tiongkok pada tahun 2017. Sejak itu, PCI NU Tiongkok telah melakukan sejumlah tindakan untuk mempererat hubungan baik kedua negara.

Dalam konteks pemberitaan media asing, terutama media Barat, mengenai pelarangan beribadah dan persekusi yang dilakukan aparat keamanan Tiongkok terhadap umat Muslim etnis Uighur di provinsi Xianjiang, PCI NU Tiongkok telah berupaya menyampaikan penjelasan yang obyektif ke berbagai pihak di Indonesia karena berhadapan langsung dengan persoalan itu.

 

Hal yang terjadi sesungguhnya bukan pelarangan beribadah atau persekusi oleh aparat keamanan Tiongkok terhadap warga Uighur di Xinjiang, namun penindakan oleh aparat keamanan Tiongkok terhadap kelompok separatis Uighur yang berupaya memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dan menjadikan Xinjiang sebagai negara merdeka.

Masalah sebenarnya adalah separatisme, bukan isu agama, dan kelompok separatis Uighur memanipulasi penindakan tegas aparat keamanan Tiongkok seolah sebagai persekusi aparat keamanan terhadap warga Uighur yang tidak berdosa.  

“Para santri NU di Tiongkok juga telah memberikan perimbangan informasi terkait kehidupan Islam di Tiongkok dan kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap umat Islam. Peran ini penting sebagai penyeimbang berita-berita hoaks yang muncul di masyarakat,” ujarnya.

 

Nurwidiyanto yang saat ini juga diberi mandat para kader NU menjadi Ketua PCI NU Tiongkok menegaskan komitmen PCI NU Tiongkok untuk turut serta dalam upaya melanjutkan penguatan hubungan baik antara Indonesia dengan Tiongkok.

Dalam kaitan ini, PCI NU Tiongkok telah melaksanakan sejumlah program kegiatan, termasuk penerbitan buku “Islam, China dan Indonesia: Pergumulan Santri NU di Tiongkok”, penyelenggaraan festival dan seminar-seminar.

Saat ini, PCI NU Tiongkok mengkoordinasikan delapan kepengurusan Ranting NU yang tersebar di sejumlah kota Tiongkok dengan jumlah anggota tercatat lebih dari 500 orang. Jumlah anggota NU di Tiongkok tersebut dapat diketahui berdasarkan perhitungan jumlah peserta grup We Chat NU Tiongkok.

Menanggapi kiprah PCI NU Tiongkok tersebut, pengamat hubungan luar negeri, Tjoki Aprianda Siregar, berpendapat bahwa NU sebagai organisasi non-pemerintah dan ormas Islam dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia dan luar negeri, dapat menjadi “role model bagi organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya turut memberikan kontribusi dalam meningkatkan hubungan kerja sama second track atau people-to-people antara Indonesia dan negara-negara sahabatnya, termasuk Tiongkok.

Adapun hubungan first track adalah government-to-government atau antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah negara mitra.

Tjoki, saat ini juga menjadi Wakil Ketua ISNU DKI Jakarta, dapat memahami atmosfir kecurigaan yang masih cukup “kental” di sebagian masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok, terutama dengan influks pekerja kasar asal Tiongkok ke Indonesia untuk mengerjakan proyek-proyek di Timur Indonesia.

Selain itu, Tjoki mengamati kerap muncul “suara-suara” di media online atau media sosial yang menyebut “masih adanya bahaya komunis di Indonesia” dan kecurigaan pada Tiongkok. Bersikap waspada dapat dibenarkan, sepanjang tidak berlebihan.

Bahkan Tiongkok yang negara komunis pun sebenarnya sudah tidak menerapkan komunisme, dengan menerapkan ekonomi pasar terbuka yang cenderung liberal.

Tjoki melihat bahwa mereka yang menyuarakan masih adanya bahaya komunis di Indonesia disinyalir memiliki kepentingan politik, yang ditujukan ke arah pemerintah, berusaha mempengaruhi opini publik, atau memicu keresahan di masyarakat.

Tahun 2020 ini, Indonesia dan Tiongkok memperingati 70 tahun hubungan bilateral keduanya, yang menurut Tjoki sesungguhnya merupakan momentum yang sangat baik bagi pemerintah dan rakyat kedua negara melakukan review, saling mengkoreksi kekeliruan persepsi antara keduanya satu sama lain, menghapus kecurigaan dan membangun kepercayaan dengan didasari niat baik untuk meningkatkan hubungan.

 


 

 

KOMENTAR