Kemustahilan Memisahkan PKB Dari PBNU, Meneguhkan Kembali Khittah PKB 1998
JAKARTA, INAKORAN.COM
Kalau saja PKB tidak didirikan resmi oleh PBNU tahun 1998 tentu sulit PKB eksis, bertahan dan menjadi salah satu kekuatan politik besar di pentas politik nasional saat ini.
Kalau saja PKB hanya didirikan oleh "individu individu" para kiai NU mungkin "nasibnya" tidak berbeda dengan Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), hanya bertahan "seumur jagung".
Itulah "kekecualian" PKB, itulah "ajimat" PKB yang didirikan resmi struktural PBNU, sebuah kemustahilan PKB bisa dipisahkan dari PBNU.
Justru karena didirikan resmi oleh PBNU itulah desain struktural PKB dikonstruksi "unik" berbeda dari struktur modern partai partai lain.
Desain struktur kepengurusan PKB di segala tingkatan pada saat awal berdirinya mengikuti struktur NU, yakni terdiri dari "Dewan Syuro" dan "Dewan Tanfidz" adaptasi dari unsur "Syuri'ah" dan "Tanfidziyah" dalam struktur "jam'iyah" NU.
Posisi Dewan Syuro dalam struktur PKB penting bukan sekedar secara administratif ikut menandatangani surat surat resmi partai baik bersifat "ke luar" maupun "ke dalam", lebih dari itu, untuk menegaskan bahwa PKB adalah partainya "ulama".
Supremasi "ulama" adalah "keunikan" PKB, berbeda dari partai partai modern lain. Artinya, posisi politik Dewan Syuro begitu penting di PKB sebagaimana layaknya "Syuriyah" di NU, inisiator berdirinya PKB.
Di sinilah pentingnya membaca "kedalaman" relasi PKB dan PBNU dan kemustahilan memisahkan keduanya sehingga membaca eskalasi konflik keduanya tidak dalam narasi tunggal bersifat "formalistik".
Cara pandang "formalistik" hanya memisahkan relasi PKB dan PBNU sebagai dua "entitas" organik yang berbeda, dipayungi dua undang undang yang berbeda jelas tidak memadai dan terlalu "dangkal" membaca relasi PKB dan PBNU.
Cara pandang di atas jelas "a historis". PKB meskipun "entitas" otonom secara struktural tapi relasi PKB dengan PBNU sebagaimana termaktub dalam "mabda' syiasi" (prinsip dasar perjuangan politik) PKB yang dikonstruksi secara konseptual oleh PBNU terikat dalam relasi historis, ideologis dan aspiratif tak dapat dipisahkan.
Itulah yang mendasari PBNU membentuk "tim khusus" dipimpin KH Anwar Iskandar (wakil Rois 'Am PBNU) dan KH Amin Said Husni (wakil ketua umum PBNU) dalam kerangka mengembalikan PKB pada "khittah 1998" saat desain awal didirikan oleh PBNU meletakkan supremasi "dewan syuro" pimpinan tertinggi PKB.
Eskalasi relasi konfliktual PKB versus PBNU saat ini memasuki babak sangat krusial, sulit diprediksi kemana dan bagaimana ujung akhirnya.
Satu sisi PKB di bawah pimpinan cak Imin telah selesai menggelar Muktamar di Bali (24 Agustus 2024) dengan memilih kembali cak Imin sebagai ketua umum PKB di sisi lain Lukman Edy dkk akan menggelar Muktamar PKB awal September 2024 untuk mengembalikan PKB pada "khittah PKB 1998".
Muktamar PKB "versi" Lukman Edy di atas adalah tindak lanjut dari "mandat" forum silaturahim kiai di Jombang dan Surabaya Jawa Timur yang dihadiri Rois 'Am dan ketua umum PBNU menyerap aspirasi para kiai NU dari seluruh Indonesia.
Para kiai di Jombang dan Surabaya tersebut bersepakat memberi mandat kepada PBNU untuk "dandani" atau memperbaiki PKB, yakni mengembalikan supremasi "dewan syuro" dalam hirarkhi struktural kepemimpinan PKB.
Dinamika relasi "konflliktuak" di atas dalam perspektif penulis harus dipandang dinamika "konfliktual" yang lumrah dalam sejarah politik NU dengan segala argumen historis yang mengikutinya.
Ini sebuah proses pematangan mentalitas kepemimpinan politik NU di level nasional. Mari kita nikmati prosesnya
Wassalam.
Oleh: H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
KOMENTAR