Kenapa Nasabah BPR KR Harus Dibela (?)

Hila Bame

Thursday, 04-05-2023 | 16:10 pm

MDN

 

 

Oleh : H. Adlan Daie
 Pemerhati politik dan sosial keagamaan

 

JAKARTA, INAKORAN

Kenapa nasaban Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja - disingkat "BPR KR"  -  milik pemerintah daerah Indramayu yang tersandra secara "politis" tabungan dan "deposito" milik mereka sendiri harus dibela ?

Sampai kapan para nasabah tersebut terhempas dan dihempas di titik nadir  mempertaruhkan nasib dana sah milik mereka sendiri?


Pertanyaan di atas penting untuk meletakkan posisi rakyat tetap "bermartabat" dalam kerangka kebijakan politik yang "adil dan beradab". Rakyat bukan ibarat adonan "martabak" yang bisa dibanting banting seenaknya dan dipermainkan "psikologis" secara ugal ugalan oleh pemimpin politik siapa pun dan berlatar warna partai apapun.


Negara hadir dan menyatakan kemerdekaannya dengan membentuk pemerintahan yang sah (dengan susunan pemerintahan turunannya dan cabang cabang kekuasaan lain) semata mata untuk "melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia" ( Pembukaan UUD 1945). 


Dalam konteks ini para nasabah "BPR KR" harus diletakkan bagian integral dari "segenap bangsa" yang dilindungi dan dibela nasib dan harta bendanya oleh negara dan "pengurus negara" (baca: pemerintah). Para nasabah mengutip lirik puisi penyair Chairil Anwar  bukanlah "binatang jalang dari kumpulannya terbuang".


Dari sudut pandang "maqasidush syari'ah" atau prinsip.dan tujuan syariat islam pun - negara dan pemerintah hadir dalam konstruksi Pemikir Mesir Hasan Hanafi yang berulang ulang dikutip Gusdur dalam beragam tulisannya bahkan menjadi dasar argument  NU kembali ke "khittah 1926" dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984 untuk melindungi lima hak dasar warga negara.


Yaitu "hifdud nasl" (melindungi hak reproduksi keturunan), "nifdud din" (melindungi hak beragama), "hifdun nafs" (melindungi jiwa ), "hiffdul aql" (melindungi hak berpendapat) dan "hifdul mal" (melindungi harta). Point terakhir mencakup makna melindungi hak milik warga negara (nasabah) dari pembegalan atau kebijakan negara yang berkonsekuensi meramoas hak milik mereka.


Dari dua oerspektif di atas, yaitu UUD1945 dan prinsip universal agama sudah cukup alasan mendasar kenapa para nasabah harus dibela menuntut pengembalian "harta milik sendiri" dari sandra lembaga manapun secara politis. Mereka adalah warga negara pemilik tabungan atau "deposito" yang sah, ditabungkan di lembaga keuangan yang sah secara hukum dan memiliki keabsahan hukum untuk menariknya kembali kapan pun dibutuhkan.


Sayangnya unjuk rasa  berkali kali para nasabah yang maaf "terlunta lunta" di bawah terik matahari  menampar wajah wajah sayu mereka dengan derai derai air mata perih sekedar menuntut dana hak milik mereka sendiri hasil nya bukan saja  "nihil"  bahkan tak sekalipun bupati menemui mereka. 


Bupati lebih "bersemangat 45" mengejar para "debitur" yang dituding "nakal" seperti semangatnya menghadiri acara acara "suka ria" berhadiah misalnya bersama dirut PDAM - suka tidak suka dapat dibaca publik bertendensi hendak memburu elektoral politik.


Lebih ironis dan menjikikkan para nasabah oleh sejumlah pihak diletakkan seolah olah "political game", ibarat permainan "lato lato" di mana tuntutan mereka mengambil dana sah mereka sendiri "di tik tok" dan dibenturkan benturkan dengan kepentingan dana infrastruktur publik dengan narasi penuh "jumawa".


Sikap DPRD pun dari sebagian partai partai tertentu mengikuti irama framing kekuasaan media nyaris "sunyi" dan "ogah" membela nasib nasabah justru hanya bertendensi untuk memukul ramai ramai "partai" penguasa rejim masa lalu secara politik, sebuah cara politik primitif bahkan sekali lagi sangat "menjijikkan".


Pmimpin politik baik bupati maupun DPRD hasil kontestasi politik dalam sistem demokrasi "pasti" bertolak belakang dengan kepemimpinan politik produks sistem "khilafah" yang nyata nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Sistem khilafah berorientasi menghancurkan rejim masa lalu sementara sistem demokrasi tegak pada prinsip "continuity and change".


Prinsip "continuity and change" dalam sistem demokrasi adalah prinsip keberlanjutan dan perbaikan karena dalam sistem demokrasi tidak ada satu pun rejim berangkat dari "titik nol". Dengan kata lain pemimpin hadir bukan untuk memusuhi rejim masa lalu kecuali "pemimpin ugal ugalan" melainkan menenun potensi masa lalu dalam sinergy harapan masa depan dalam spirit melindungi "segenap" warga warga termasuk melindungi hak milik para nasabah di atas.


Pertanyaannya jika mereka tidak dibela oleh pemimpin politik yang dipilih nya - lalu kepada siapa dan untuk apa mereka dipilih dengan biaya pemilihan dari dana pajak rakyat? 


Mereka mungkin tidak memiliki power yang daoat memaksa para politisi untuk membela mereka tetapi jelas mereka bisa menghukum secara elektoral dengan melakukan gerakan kolektif untuk tidak memilih siapapun dan partai apapun pada pemilu 2024 ini yang tidak peduli atas nasib mereka.


Belajarlah bersama pada kisah politik Fir'un dan penguasa otoriter di era modern bahwa kemudahan  melakukan rekayasa dukungan politik yang melimpah untuk membungkam rakyat seolah olah rakyat tak berdaya di hadapan penguasa politik justru menurut Ibnu Khaldun, bapak sosiolog politik muslim modern adalah tanda tanda bahwa kursi kuasanya  tengah di ujung senja dan akan segera berakhir.


Karena itu menguttip lirik lagu Rhoma Irama  "negara ini bukan milik golongan, apalagi perorangan. Jangan seenaknya membabi buta" mengelola negara dengan nafsu selera politiknya.

TAG#ADLAN, #BPR KR, #INDRAMAYU

190246990

KOMENTAR