KontraS: Penembakan Terhadap Pendeta Yeremia Zanambani Berujung Pada Kematian, Negara Harus Membentuk Tim Independen

Hila Bame

Friday, 25-09-2020 | 12:39 pm

MDN
Pendeta Yeremia Zanambani

 

Jakarta, Inako

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras penembakan berujung pada kematian yang diduga dilakukan oleh anggota TNI terhadap Pendeta Yeremia Zanambani seorang tokoh Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Berdasarkan keterangan dan informasi yang kami terima, penembakan terjadi pada hari Sabtu (19/8) sekitar pukul 17.30 di Distrik Hitadipa. Hal ini bermula dari sangkaan bahwa pendeta atau warga Hitadipa adalah aktor tewasnya salah satu angggota TNI. Sangkaan tersebut mengakibatkan tewasnya satu orang pendeta, diduga akibat penembakan oleh TNI, demikian rilis KontraS yang diterima Inakoran.com Jumat, (25/9).

Selain penembakan, diduga ancaman pengusiran secara paksa pun terjadi. Dalam melakukan pencarian atas pembunuhan rekannya, anggota TNI mengancam mengusir warga secara paksa. Hal ini juga dialami oleh beberapa pendeta yang bertugas di Hitadipa. Ancaman pengusiran secara paksa ini dilakukan oleh anggota TNI sejak 18 September hingga19 September 2020. 

Berangkat dari informasi yang kami terima, kami menemukan sejumlah pelanggaran oleh anggota TNI. Pertama, inisiatif TNI melakukan pencarian pelaku secara mandiri menyalahi aturan yang ada. Sebab, yang berwenang melakukan penyelidikan/penyidikan atas peristiwa kejahatan ialah institusi kepolisian. Hal ini justru berpotensi TNI akan main hakim sendiri atas langkah yang diambilnya.

Kedua, tindakan penembakan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI itu merupakan kejahatan dan melanggar Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan dengan ancaman pidana maksimal lima belas tahun. Oleh karenanya, proses yang dilakukan harus menggunakan mekanisme peradilan pidana dan diadili melalui peradilan umum meskipun pelakunya ialah seorang prajurit TNI.

Ketiga, selain dugaan pelanggaran pidana, kami memandang tindakan anggota TNI yang melakukan penembakan dan ancaman pengusiran secara paksa diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Konvenan Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Bahwa tragedi ini menambah daftar panjang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, dan membuktikan bahwa pendekatan keamanan dengan dalih perlindungan sangat tidak tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua.

Diketahui hingga saat ini, masih terdapat adanya ketidakjelasan informasi, aparat TNI menuduh anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan masyarakat setempat berkeyakinan anggota TNI yang melakukan pembunuhan. Oleh karena itu, negara penting kiranya membentuk tim independen dengan melibatkan dewan adat Papua, tokoh gereja, Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia guna menjamin indepedensi dalam melakukan penyelidikan/penyidikan.

Berdasarkan hal di atas, KontraS mendesak:

  1. Presiden agar menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua yang menyebabkan rantai pelanggaran HAM terus terjadi di tanah Papua dan bahwa pendekatan keamanan tersebut merupakan tindakan yang tidak sah karena Indonesia tidak pernah mendeklarasikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM);
  2. Kapolda Papua membentuk tim independen dengan Komnas HAM sebagai ketua tim yang melibatkan Dewan Adat Papua, tokoh gereja, dan Ombudsman Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan/penyidikan terkait tragedi ini secara akuntabel dan transparan;
  3. Panglima TNI melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap keberadaan dan fungsi dari pos-pos penjagaan TNI di wilayah Papua, agar tidak terjadi fungsi kerja yang sewenang-wenang dan di luar tanggung jawab.

Jakarta, 23 September 2020
Badan Pekerja KontraS,

KOMENTAR