Mayoritas Bursa Asia Menghijau, Tapi The Fed Grogi
Jakarta, Inako
Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan hari ini di zona hijau: indeks Shanghai naik tipis 0,01%, indeks Hang Seng menguat 0,15%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,22%.
Hubungan AS-China yang masih adem di bidang perdagangan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Pada hari Senin (19/8/2019) waktu setempat, AS mengumumkan perpanjangan atas izin sementara yang diberikan kepada Huawei untuk membeli beberapa komponen dari produsen asal AS. Perpanjangan tersebut diberikan selama 90 hari.
Seperti yang diketahui, pada bulan Mei Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
Tak lama berselang, pemerintah AS memberikan kelonggaran bagi Huawei untuk membeli beberapa komponen asal AS, sebuah langkah yang dimaksudkan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan konsumen AS.
Kini, AS kembali melunak dengan memperpanjang kelonggaran yang mereka berikan kepada Huawei. Padahal pada akhir pekan, Trump memberi sinyal bahwa pelonggaran kepada Huawei tak akan diperpanjang.
Kala perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tak lagi tereskalasi, maka perekonomian global bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.
Di sisi lain, apresiasi bursa saham utama Benua Kuning dibatasi oleh kekhawatiran yang menyelimuti menjelang rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juli 2019. Risalah rapat tersebut akan dirilis pada dini hari nanti (22/8/2019) waktu Indonesia.
Ada kekhawatiran bahwa pernyataan bernada hawkish akan didapati di dalam risalah tersebut, menyusul komentar hawkish dari Jerome Powell selaku Gubernur The Fed pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu.
Seperti yang diketahui, dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu, Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pihaknya hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment". Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif dari The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015. Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.
TAG#Bursa, #Bursa Asia, #The Fed, #Suka Bunga
188649067
KOMENTAR