Membaca Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN Santri Par Exellence

Oleh : H. Adlan Daie.
Analis politik dan sosial keagamaan.
JAKARTA, INAKORAN
Nusron Wahid sejak ditunjuk menjadi menteri ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional) oleh Presiden Prabowo dalam kabinet "Merah Putih", ia tampil bukan sekadar pejabat tinggi negara tapi ia menonjol dengan gestur "santri par exellence", santri dalam performa terbaiknya di ruang publik.
Nusron Wahid mahir dan fasih menyampaikan pandangan pandangan keagamaan di ruang publik terkait tugas mulia kementerian yang dipimpinnya secara teknokratis dengan dalil dalil dan rujukan "kutubul mu'tabaroh", kitab kitab "kuning" kredibel dalam khazanah keilmuan pesantren.
Ia tak diragukan ("la raiba fih") meskipun berkiprah di partai Golkar, partai "nasionalis" dalam kategori antropologi politik adalah politisi "santri", mengutip teori antropologi politik Clifford Geezt tentang tiga kategorisasi sosial politik di Indonesia (Jawa), yakni santri, abangan dan priyayi.
Dalam sejarah literasi sosial politik di Indonesia "santri" memiliki varian makna dan definisi yang beragam.
Dalam perspektif kultural "santri" adalah salah satu elemen penting pesantrren NU merujuk disertasi Dr. Zamakhsyari Dhofir yang diterbitkan dalam buku berjudul "Tradisi Pesantren" (1982), secara "lahiriyah" berpenampilan pakaian sarung dan kopiah hitam. Orang "luar" menyebutnya "khas NU banget".
Di sisi lain Clifford Geezt dalam buku "The Religion Off Java" (1956), dialihbahasakan oleh Aswab Mahasin dalam judul buku "Santri, Priyayi dan Abangan" mengkonstruksi makna santri dalam perspektif varian antropologis dalam konteks afiliasi politik.
Di sini Cliiford Geezt memaknai "santri" dalam varian dan spektrum afiliasi politik tokoh/pemilih partai partai Islam "dikontraskan" dengan varian sosial politik "abangan" dan "priyayi", basis sosial politik tokoh dan pemilih partai partai Nasionalis.
Prof. Abdul Munir Mulkhan (1991) dalam bukunya "Runtuhnya Politik Santri (1991) membedah makna santri dalam dua kategori yakni "santri" tradisional mengacu pada produks sosial pesantren NU dan "santri" dalam pengertian aktivis pergerakan organisasi Islam meskipun secara kultural tidak "nyantri" di pesantren.
Dalam beragam perspektif definisi tentang santri di atas itulah penulis meletakkan Nusron Wahid sebagai politisi "santri par exellence". Ia santri secara kultural karena rekam jejak pendidikannya di pesantren "Sarang" Rembang, sebuah pesantren besar dalam tradisi pesantren NU di pulau Jawa
Tetapi sekaligus secara sosial politik ia mantan ketua umum PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan ketua umum GP Ansor, pucuk pimpinan di dua organisasi yang lahir dari rahim NU, rekam jejak organisatoris yang "tidak main main".
Itulah yang menjelaskan ia begitu fasih mengutip ayat ayat Alquran dalam beragam kesempatan sambutan sebagai menteri ATR/BPN.
Saat ia menghadiri acara di pesantren Syamsul ulum di kab Sukabumi di Jawa Barat, dalam sambutannya begitu fasih mengutip ayat ayat Alquran tentang proporsi keadilan distribusi "tanah" - meskipun secara politik ia adalah kader partai Golkar, partai "nasionalis".
Problem pertanahan adalah problem klasik bangsa Indonesia, ia tidak hanya menjelaskan dari sisi kerja teknis dalam tugas pokok kementerian yang dipimpinnya, yakni kementerian ATR/BPN melainkan dikupas dalam perspektif keagamaan secara kuat.
Nusron Wahid dalam sambutan di pesantren tersebut dengan fasih menyebut ada 6236 ayat dalam Al Qur an tapi ia memilih ayat yang pas untuk menampar para penimbun jutaan hektar tanah.
Ia mengutip surat Al hasyr ayat 7 - "kay la yakuna dulatan bainal aghniya minkum", agar harta (tanah) tidak hanya beredar (dikelola) di kalangan orang orang kaya saja.
Ia menekankan "bilisani qaumihi", dengan bahasa agama (pesantren) bahwa ia menyuarakan mimpi besar reformasi agraria yang tidak hanya menata sertifikat tapi menata struktur kekuasaan tanah. Inilah sejatinya "jihad ekonomi".
Dalam kesempatan lain misalnya dalam acara kanwil ATR)BPN Jawa Tengah, Haul guru Tua di Sulawesi dalam sambutannya begitu fasih mengutip kitab kitab seperti kitab "ihya Ulumuddin" imam Al Ghazali, "Manakib" Syekh Abdul Qodir Jilani dalam kontekstualisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendek kata, Nusron Wahid sejak menjadi menteri ATR/BPN sependek pengamatan penulis menonjol tampil dalam posisi kultutalnya sebagai "santri par exellence", bahkan menjadi khatib dalam sholat idul Fitri 1446 H di masjid KH Hasyim Asy'ari, sebuah nama masjid di Jakarta yang dinisbatkan kepada nama pendiri "jam'iyah" Nahdlatul Ulama (NU).
Paparan singkat di atas membawa imajinasi penulis pada dua pertanyaan penting tentang Nusron Wahid :
Pertama, sebagai "santri par excellence" kenapa ia memilih berkiprah dalam politik praktis melalui partai Golkar, sebuah partai "nasionalis" dibanding PKB dan PPP, dua partai secara kultural ideologis lebih dekat dengan Nusron Wahid dalam posisi sosial kulturalnya sebagai "santri"?
Kedua, mau tidak mau pertanyaan ini diajukan, apakah tampilan Nusron Wahid yang menonjol di ruang publik akhir akhir ini bagian dari rooadmap" menuju Muktmar NU awal tahun 2027? Bukankah Nusron Wahid memang sangat berpengalaman dalam peta suksesi Muktamar NU minimal dalam dua kali Muktamar NU terakhir?
Terhadap dua pertanyaan di atas penulis coba mengkonstruksi dalam analisis tulisan berikutnya.
TAG#ADLAN
196172830

KOMENTAR