Pelajaran Berharga dari Sanksi Magang Kemendagri Untuk Lucky Hakim

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Apa pelajaran paling "berharga" bagi peradaban politik atas sanksi "magang" yang dijatuhkan Kemendagri RI untuk Lucky Hakim bupati Indramayu (Cnn, 22/4/2025) akibat "kelalaiannya" berlibur keluar negeri (Jepang) tanpa ijin Mendagri ?
Pertanyaan di atas begitu penting dalam konteks Lucky Hakim sebagai bupati Indramayu, sebuah jabatan publik dalam kategori ilmuan politik Francis Fukuyama adalah "jabatan mulia dan beradab". Ibnu Khaldun menyebutnya replikasi "akhlak publik".
Ia bukan "personal" tapi bupati yang memimpin 1,8 juta jiwa rakyat Indramayu. Jadi bukan jabatan "main main", harus dijaga kemuliaan jabatan yang didudukinya dan publik mengontrolnya.
Inilah pelajaran berharga bagi Lucky Hakim bahwa soal sanksi bukan soal ringan atau berat dari sisi bentuk tapi nilai sebuah sanksi bagi pejabat publik sekelas bupati adalah problem "cacat" kemuliaan peradaban politik - kecuali jika jabatan hanya dipandang "mainan politik" secara primitif.
Dalam hal sanksi "magang" di atas secara politis dapat dibaca dari beragam perspektif baik "pro" maupun "kontra", ada yang senang, tidak senang atau "pura pura senang" :
Pertama, dari sisi yuridis merujuk UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 76, ayat (1) dan pasal 77 ayat (2) jelas sejelas jelasnya, tidak ada tafsir "magang" kecuali "kepala daerah/wakil kepala daerah diberhentikan sementara (3 bulan) apabila bepergian keluar negeri tanpa ijin Mendagri".
Dalam perspektif ini pilihan sanksi "magang" adalah pilihan sanksi "jalan tengah" khas Indonesia dengan segala timbangan sosiologis dan kultural yang menyertainya.
Kedua, dari sisi politis.boleh jadi sanksi "magang" menjadi pilihan Kemendagri untuk tidak memberi panggung terlalu lebar kepada Lucky Hakim memainkan politik "playing victim", sebuah langgam politik "terdolimi" yang selalu piawai dimainkan Lucky Hakim di ruang publik untuk menarik trend persepsi publik secara luas.
Tentu tak menutup kemungkinan lain adanya proses loby dan negosiasi politik khas indonesia hingga Kemendagri mengambil pilihan sanksi "magang" untuk Lucky Hakim. Inilah pilihan sanksi yang disebut Ono Surono di media sosial "tiktok" sebagai sanksi "setengah setengah".
Di luar beragam perspektif politis di atas satu hal penting bahwa betapa pun sanksi tersebut ringan karena ia masih "aktif" sebagai bupati tapi inilah jalan "pertobatan politik" untuk Lucky Hakim bukan sekedar untuk tidak diulangi tapi sekaligus "menginstal" ulang energy kepemimpinannya.
Permintaan "maaf" yang disampaikan Lucky Hakim di ruang publik tidak boleh selalu menjadi bagian dari "basa basi" politik untuk seseorang dengan jabatan publik "sekelas" bupati. Terlalu sering "minta maaf" bisa diplesetkan kelak publik memberi penghargaan sebagai "bupati paling banyak minta maaf".
Bupati adalah pemimpin bukan sekedar tidak boleh melanggar aturan menurut standart regulasi tapi harus bertindak "prudent", hati hati, memberi teladan, menimbang kepantasan di ruang publik, tidak "flexing" di media sosial di atas 240 ribu derita rakyat miskin Indramayu.
Dengan kata lain bupati bukan "kepala proyek" yang memimpin "benda benda mati" dan kerja kerja teknis melainkan memimpin rakyat dengan segala harapan, perasaan dan kecemasan hidupnya. Ia adalah sumber keteladanan publik.
Nasehat Rasulullah "ibda' bi nafsik", mulai lah dari dirimu - adalah kunci bahwa keberhasilan kepemimpinan politik dalam sejarah peradaban adalah moralitas keteladanan.
Itulah beratnya menjadi bupati tapi begitu mulia bagi yang menghayati jabatan bupati sebagai panggilan kepemimpinan maslahat publik. Jadi, sanksi betapa pun mungkin ringan dari sisi bentuk tapi bagi seorang pemimpin tidak boleh dianggap "enteng" dan "main main".
Kasus ringan "es teh" ala Gus Miftah beberapa waktu lalu betapa pun tidak melanggar regulasi bernegara tetapi ia adalah pejabat publik (utusan khusus Presiden) bisa menjadi titik balik dahsyat bagi seorang tokoh publik - jika ambang kepantasan publik "terganggu".
Itulah pelajaran berharga dari sanksi Kemendagri untuk Lucky Hakim. "Becik ketitik ala ketara", kearifan falsafah Jawa mengajarkan untuk berhati hati bertindak, apalagi bagi seorang pemimpin karena "sepandai pandai tupai melompat jika terlalu sering akan jatuh juga", demikian hukum semesta mengajarkan.
TAG#ADLAN, #MAGANG BUPATI, #BUPATI INDRAMAYU
195487997

KOMENTAR