Surat Terbuka Untuk Presiden Prabowo Subianto Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah

Oleh : Adlan Daie
Warga Negara Indonesia berdomisili di Indramayu Jawa Barat
JAKARTA, INAKORAN
Harapan satu satunya untuk meninjau ulang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor : 135/PPU - XXII/2024 tentang Pemisahan pemilu Nasional dan Pemilu Daerah hanya di tangan Bapak Presiden Prabowo
Ini bukan sekedar tentang teknis Pemilu tapi sungguh sungguh tentang menjaga "Undang Undang Dasar" (UUD)1945, tentang menjaga integritas "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana amanat pasal 1 ayat 1 UUD 1945 tentang "Negara Kesatuan".
BACA:
Putusan MK di atas tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah selain tidak diatur dalam UUD 1945, juga potensial melemahkan integritas "Negara Kesatuan Republik Indonesia" (NKRI), sebuah "embrio" mengarah pada praktek negara "semi" federal, semacam negara bagian
Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Republik ini atas mandat pilihan rakyat memiliki otoritas politik untuk menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Integritas negara kesatuan inilah yang selama ini dijaga Presiden Prabowo, bahkan jauh sebelum menjadi Presiden RI. Hal itu tercermin kuat dalam buku yang ditulis bapak Prabowo berjudul "Indonesia Paradoks", tentang integritas keindonesiaan dengan kekayaan alam berlimpah.
baca:
Puan Sebut DPR Akan Dalami Dulu Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, Lihat Efeknya ke UU dan Parpol
Pemilu di Indonesia diatur untuk meneguhkan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), amanat UUD pasal 1 ayat 1 tentang bentuk negara adalah "negara kesatuan".
Konstruksi dasar dasar pemilu dalam UUD pasal 22 E ayat 1 & 2 diatur dalam satu paket pasal bahwa pemilu dilaksanakan "lima tahun" sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden, wakil Presiden dan DPRD, tidak ada pemisahan Nasional dan Daerah.
Pemilu untuk DPRD bukan entitas daerah yang terpisah melainkan diatur dalam satu paket pasal dalam UUD 1945 untuk "lima tahun" sekali bersama DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden untuk meneguhkan integritas keindonesiaan yang kuat.
Konstruksi konstitusional ini menjelaskan bahwa pileg untuk DPRD dengan kepastian lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam UUD pasal tersebut di atas tidak bisa disatukan dengan pilkada yang tidak diatur dalam UUD 1945 harus "lima tahun" sekali
Pilkada dalam ketentuan UUD 1945 pasal 18 ayat 4 tidak diatur "harus lima tahun sekali" kecuali diatur dalam Undang Undang turunannya. Ini berbeda dengan Pileg untuk DPRD jelas jelas "lima tahun sekali" diatur dalam UUD , bukan Undang undang.
Menarik mundur pelaksanaan pileg untuk DPRD ke tahun 2031demi keserentakan bersama pilkada bukan soal konsekuensi perpanjangan masa jabatan DPRD melebihi "lima tahun" tapi tentang pelanggaran atas prinsip dasar pemilu lima tahun sekal. Jika tidak, maka ada alasan untuk terjadinya "pembangkangan sipil" terhadap eksistensi DPRD.
Ketentuan bahwa DPRD (Provinsi, kab/kota) wajib dipilih "lima tahun" sekali diatur dalam UUD pasal 22 E ayat 1 & 2, bukan Undang Undang turunannya tidak bisa dibatalkan oleh putusan MK atau rekayasa revisi Undang Undang pemilu kecuali dilakukan amandemen oleh MPR RI.
Putusan MK seharusnya menguji konstitusionalitas Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar, justru dalam praktek putusan MK di atas merubah ketentuan prinsip prinsip tentang pemilu yang diatur dalam UUD itu sendiri.
MK sebagai lembaga negara harus diletakkan kembali dalam tugas pokok dan kewenangan yang diberikan konstitusi (UUD) salah satunya menguji undang undang terhadap UUD, bukan untuk merubah prinsip prinsip bernegara yang diatur UUD 1945.
MK sebagai lembaga negara untuk menjaga konstitusi harus dihindarkan tidak menjadi wadah legitimasi pikiran pikiran para hakim konstitusi yang melampaui prinsip prinsip yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam perspektif inilah penulis memberanikan diri menulis surat terbuka kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengambil langkah politik demi menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak dirusak oleh sistem demokrasi yang mengarah pada praktek negara "semi" federal.
Memang selalu terdapat kekurangan dalam pelaksanaan pemilu baik dari sisi sistem maupun dari sisi teknis karena di dunia manapun dan sistem demokrasi manapun tidak ada sistem demokrasi yang "sempurna" seperti yang selalu diidealkan para penggiat demokrasi dan sejumlah pakar hukum tata negara.
Dii atas segala kekurangannya, pemilu 2024 (pilpres dan pileg serentak dan pilkada serentak) total di seluruh Indonesia adalah proses akhir konsolidasil demokrasi relatif sudah berjalan baik setelah 25 tahun era reformasi melakukan uji coba dengan varian varian teknis pelaksanaan demokrasi.
Maka mengubahnya dengan opsi pemisahan pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebagaimana putusan MK di atas bukan sekedar konsolidasi demokrasi akan "ambyar" kembali ke masa awal transisi akibat putusan MK ini.
Bahkan lebih dari itu hal paling mendasar adalah putusan MK di atas bukan tentang teknis pemilu melainkan merubah haluan prinsip prinsip dasar pemilu yang diatur dalam UUD 1945 pasal 22 E ayat 1 & 2 di atas. Ini sungguh potensial mengarah pada pelemahan integritas "Negara Kesatuan Republik Indonesia" (NKRI).
Di sinilah urgensi Presiden sebagai pemegang mandat tertinggi di Republik ini mengambil langkah politik untuk menjaga pemilu tidak keluar dari konstruksi UUD sebagai basis dasar regulasi pemilu untuk meneguhkan integrasi keindonesiaan tidak mengarah pada praktek "semi" negara federal.
Demikian, semoga bapak Presiden selalu diberi kekuatan lahir batin untuk tiidak lelah menjaga integritas keindonesiaan kita.
203299636

KOMENTAR