Memilih Kepala Daerah, Jalan Tengah Orde Baru dan Orde Reformasi

Hila Bame

Tuesday, 07-01-2025 | 11:24 am

MDN
H. Adlan Daie Analis politik dan sosial keagamaan

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA,INAKORAN 

Pro kontra atas usulan Presiden tentang pilkada dipilih oleh DPRD penulis meletakkannya dalam perspektif "jalan tengah", kombinasi simetris proses rekruitmen ala "Orde Baru" dan "Orde Reformasi". 

Kombinasi konstruktif kedua sistem di atas dapat melahirkan pemimpin legitimated secara politik tapi sekaligus kualitatif dalam kompetensi personal, kecakapan teknokratis dan kepemimpinan yang menggerakkan.

Menjadi "kepala daerah" tidak terletak pada beban kerja bersifat teknis misalnya membangun jalan dll. Itu semua kerja teknis sangat mudah. Pasalnya back up uang (APBD) dan sumber daya birokrasi terdidik sudah "ready", bahkan ekosistem kerja pun sudah terstandardisasi dalam regulasi.

Resiko menjadi "kepala daerah"  adalah menjadi pemimpin. Ia hadir di panggung politik bukan "dealer" bersifat mekanik melainkan "leader", pemimpin yang mewakili pikiran, rasa, harapan dan kecemasan nasib seluruh rakyat di bawah yuridiksi kepemimpinannya.

Dulu di era "Orde Baru" menjadi kepala daerah meskipun "diatur" dalam orkestrasi politik akan tetapi "person" yang disiapkan menjadi kepala daerah tidak main main, harus berpangkat "Kolonel" untuk level Bupati dan "Mayor Jenderal"  (bintang dua) untuk level Gubernur.

Tingkat "kepangkatan" di atas mencerminkan kematangan psyikhologi kepemimpinan, wawasan kebangsaan dan ketrampilan teknokratis melewati segala level pendidikan dan "penugasan" yang diikutinya hingga naik menjadi "Kolonel" dan atau "Mayor Jenderal".

Sayangnya dalam spektrum sistem politik demokratis hari ini meskipun ia secara kualitatif personal layak menduduki pos pos jabatan politik "kepala daerah", ia tidak dipilih secara langsung, tidak legitimated dan lemah secara representasi politik.

Dalam era Orde Reformasi sebaliknya proses rekruitmen politik untuk menduduki jabatan "kepala daerah" terbuka bagi siapa saja dan dari segmentasi profesi manapun hingga seorang "pelawak" sekalipun -  asal populer dan berpeluang secara  elektabel.

Basis "kesukaan" dalam survey alat ukur dominan dalam proses pencalonan, tidak terlalu penting kualitas dan integritas kepemimpinan personal. Kapasitas intelektualitas dan kompetensi teknokratis urusan "belakangan".

Itulah yang dicemaskan Mendagri Tito Karnavian dalam penelitian kementerian yang dipimpinnya tak jarang "yang dipilih" langsung dibawah standart kompetensi teknokratis dan kualifikasi kepemimpinannya dibanding "yang "ditunjuk" (Pjs).

Perspektif di atas bukan untuk membuka ruang "militerisasi" jabatan politik sipil (kepala daerah) melainkan pentingnya pola rekruitmen internal partai dan support sistem negara dalam meletakkan standart kualitas minimal untuk menjadi calon kepala daerah.

Sehingga publik diberi alternatif pilihan untuk memilih yang "terbaik" di antara semua calon yang "baik baik dan kualitatif" untuk memproteksi publik tidak jatuh pada pilihan instan, disukai tapi defisit moral keteladanan dalam kepemimpinan politik.

Dengan demikian persoalan memilih kepada daerah bukan soal dipilih langsung dengan resiko cost politik tinggi dan rentan koruptif dari hulu ke hilir lalu disederhanakan dengan opsi dipilih oleh DPRD dengan resiko tidak legitimated secara politik.

Pointnya sebagaimana disebutkan di atas bagaimana sistem pilkada dapat melahirkan pemimpin legitimated secara politik tapi sekaligus kualitatif dalam kompetensi personal, kecakapan teknokratis dan kepemimpinan yang menggerakkan.

Itulah "jalan tengah", kombinasi adaptif sistem Orde Baru dan Orde Reformasi yang dimaksudkan penulis dalam judul tulisan ini dan ke sanalah seharusnya Kemendagri dan DPR RI meletakkan prinsip prinsip desain regulasi dalam rencana revisi paket RUU bidang politik. 
 

 

KOMENTAR