Mendidik Bupati dan Urgensinya Dalam Sistem Demokrasi

Hila Bame

Friday, 13-09-2024 | 17:23 pm

MDN

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan. 

JAKARTA, INAKORAN


Judul tulisan di atas sedikit adaptasi dari judul "Mendidik Pemimpin Mendidik Rakyat" tulisan Dr. Yudi Latif, mantan kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) di harian "kompas" (1/8/2024). 

Bupati sebagaimana layaknya pemimpin politik di level manapun karena "power" jabatannya cenderung "koruptif". Lord Action, sejarawan politik moralis Inggris (1834 - 1902) menulis diktum politik terkenal : 

"Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely". Watak "bawaan" kekuasaan cenderung koruptif dan kekuasaan yang absolut perilaku koruptifnya pasti makin menggila dan ugal ugalan. 

Itulah pentingnya penguatan sistem demokrasi di mana rakyat berani mendidik, mengkritik dan mengontrol penguasa politik tak terkecuali seorang bupati, penguasa politik di level tingkat kabupaten.

Bahkan jauh sebelum ada sistem demokrasi Ali bin Abi Thalib telah menulis tentang begitu penting mendidik dan mengontrol penguasa politik. 

Ali bin Abi Thalib dalam kitab "Nahjul Balaghah", kitab kumpulan surat surat politik beliau kepada para penguasa di eranya, antara lain menulis ::

"Wala takunanna inni mu'ammarotun fa utha'a". Artinya, janganlah kalian sekali kali menjadi pejabat meskipun dipilih secara legal lalu semena mena meminta 100% ketaatan rakyat tanpa "reserve", 

Bupati adalah "elected leader", pemimpin politik yang dipilih rakyat dalam mekanisme sistem demokrasi, sebuah sistem politik yang memberi ruang rakyat mengontrol, kritik dan mendidik bupati. Ini prinsip "chek and balance" dalam sistem demokrasi yang sehat dan kualitatif. 

Dalam demokrasi relasi bupati dan rakyat bersifat "kontrak sosial" di mana satu sisi bupati diberi mandat untuk "membina" kehidupan bersama dalam mewujudkan  "keadilan sosial", bukan untuk "membinasakan" potensi dan pikiran pikiran kritis rakyat.

Di sisi lain rakyat berhak mendidik bupati sebagai pemimpin mereka,  tidak "ugal ugalan" menyetir kebijakan publik dalam kepemimpinannya. Ibarat bus penumpang wajib mengingatkan supir ugal ugalan demi keselamatan seluruh penumpang bus.

Imam Al Ghazali dalam konstruksi relasi Piramida sosial mengingatkan bahwa  rakyat "rusak" karena pemimpinnya "rusak" dan pemimpin "rusak" karena ulamanya "rusak" dan ulama "lumpuh" daya kritisnya karena tersandera "gaya hidup" VVIP (kitab "ihya Ulumuddin, juz II)

Ulama di sini dalam teori ilmu sosial mencakup di dalamnya kaum intelektual, aktivis, politisi dan "kelas menengah". Bila ulama "lumpuh" daya kritisnya terhadap penguasa tentu rakyat akan mencari jalannya sendiri. Berkali kali sejarah politik telah membuktikannya.

Pilkada serentak 2024 pasti melahirkan sejumlah "bupati", walikota dan gubernur di seluruh Indonesia maka siapa pun kelak terpilih bersiaplah bukan sekedar untuk "memerintah" tapi harus siap dididik oleh rakyat yang dipimpinnya.

Artinya mendidik rakyat sangat penting tapi bersamaan dengan itu mendidik bupati jauh lebih penting karena resonansi effect maslahat atau justru malah daya rusaknya bukan sekedar berdampak pada diri keluarga, golongan dan partai pendukungnya melainkan seluruh ruang ruang kehidupan publik.

Itulah pentingnya rakyat partisipatif mendidik bupati, mengawal tetap dalam garis "khittah" kepemimpinan "tashorruful imam ala Al roiyah manutun bin maslahah", komitmen terikat pada maslahat publik, bukan maslahat golongan, partai apalagi keluarga dan perorangan. 


Wassalam.

TAG#ADLAN, #INDRAMAYU

182193922

KOMENTAR