Menelisik  Tari Tiba Meka Peserta Didik  SMK Informatika St. Petrus Ruteng (Bagian 2)

Hila Bame

Wednesday, 26-10-2022 | 11:09 am

MDN

 

 

Ruteng,Inakoran.com

Wur Poti (mengusir setan pengganggu)  dalam budaya Manggarai adalah budaya masa lalu dan kini terus terpelihara. Tamu harus bebas dari gangguan mahluk halus dan dikreasi dalam tarian tiba meka (menyambut tamu). 

Para penikmat budaya mendukung upaya pelestarian budaya untuk kelangsungan anak cucu Manggarai pada masa datang...Red)


Tarian Tiba Meka   diperagakan untuk menyambut tamu agung yang datang mengunjungi kampung-kampung  di Manggarai. Sesuai etimologisnya, ”Tiba” artinya  terima atau penerimaan dan “Meka” adalah tamu.


Diceritakan para tokoh adat, konon kata mereka, ketika Masyarakat Manggarai  menyambut para misionaris datang mewartakan kabar gembira menyebarluaskan agama Katolik di Manggarai ratusan tahun lalu, ritus ini terus dipertahankan di Manggarai ketika menyambut tamu agung seperti Uskup, Para imam  yang baru ditabis, dan Pejabat penting kerajaan, daerah dan Negara.

Dengan perkembangan zaman, susunan sesuai tradisi asli Manggarai pelan-pelan pudar.

Beberapa urutannya tidak lagi natural dimana ada bagian tertentu dari ritus ini perlahan sudah mulai hilang. Misalnya penggunaan sundang jarang dilakukan oleh masyarakat ketika menyambut tamu agung. Kadang masyarakat menggunakan Kope Banjar (Parang Biasa), Ndeki (salah satu perlengkapan tarian Caci) ataupun kris.


Karena kelangkaan Sundang sekarang lebih banyak masyarakat menggunakan kris pusaka


  Tarian kreasi Tiba Meka  didesign dari tradisi asli orang Manggarai diantaranya adalah Wur Poti, Tuak Curu, Ronda, Danding, Manuk Kapu, Wisi Loce dan Paneng Cepa,
Wur  Poti “ Pemaka” penari pria mengusir menggunakan kris pada bagian sekitar 2 meter dari sisi  depan dan kiri dan kanan ketika tamu agung  sudah berada di gerbang menuju kampung. Tuak Curu moke penjemputan yang disuguhkan bagi para tamu, setelah itu para tamu diarak oleh masyarakat kampung menuju Mbaru Gendang rumah adat dengan perarakan dengan regu “ronda’’ untuk bergembira bersama dengan tamu.

 

Tarian tradisional dengan formasi dua baris diringi lantunan lagu dan sebuah gong kecil mempunyai makna bahwa warga menyambut tamu dengan hati riang gembira.
Setelah sampai di  dalam rumah adat, tamu dipersilahkan duduk kemudan disambut dengan Manuk Kapu. Sebuah ritus penyambutan tamu dengan ayam jantan putih melambangkan bahwa warga kampung menerima tamu dengan hati bersih sebersih buluh ayam jantan tersebut.


Para tamu duduk diatas tikar indah lalu  dilanjutkan dengan paneng cepa. Kaum ibu menyuguhkan sirih pinang yang menunjukkan sebuah kebersamaan, kekeluargaan terhadap tamu yang datang. Setelah itu para tamu bercanda bersama tokoh adat sambil minum kopi ala Manggarai dan makanan tradisional seperti Sombu, boko, depek yang semua bahan dasarnya dari jagung. Depek dari jagung muda ditumbuk lalu dibungkus dengan kulit jagung dan dikukus....(Bersambung)

 

 

KOMENTAR