Menimbang Keputusan MK tentang Sistem Proporsional Terbuka

Timoteus Duang

Monday, 19-06-2023 | 10:21 am

MDN
Husni Mubarok [Pengurus pusat KITA (Kerapatan Indonesia Tanah Air)]

 

JAKARTA, INAKORAN.COM 

Oleh: Husni Mubarok [Pengurus pusat KITA (Kerapatan Indonesia Tanah Air)]

 

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan dalam sidangnya pada hari kamis (15/6/2023) bahwa pemilu legislatif (selanjutnya disebut "pemilu") 2024 tetap menggunakan sistem proporsional "terbuka".

Sistem pemilu proporsional "terbuka" adalah sistem pemilu di mana caleg "terpilih" berdasarkan raihan suara terbanyak caleg—bukan berdasarkan nomor urut caleg yang ditetapkan pimpinan partai politik peserta Pemilu 2024.

Sistem pemilu proporsional "terbuka" ini sesungguhnya bukan sistem baru. Sistem ini telah diterapkan dalam tiga kali pemilu terakhir, yakni Pemilu 2009, 2014 dan 2019. Jadi keputusan MK di atas mengukuhkan kembali "konstitusionalitas" sistem proporsional "terbuka".

Dengan demikian, keputusan MK tersebut telah mengakhiri  ketidakpastian regulasi Pemilu 2024 yang ditunggu-tunggu para bakal calon legislatif (bacaleg) dan sejumlah pimpinan partai politik.

 

Baca juga: Relasi Partai dan Caleg, Studi Kasus Politik di Indramayu

 

Lebih dari itu telah mengakhiri "pro kontra" di ruang publik hingga bernada "ancaman" pemboikotan pemilu, spekulasi penundaan pemilu dan lain lain.

Dalam perspektif "ushul fiqih", sebuah methodologi "istimbath" atau proses penetapan produk hukum (Islam) dikenal prinsip  "dar ul mafasid muqaddam 'ala jalbil masholih", yakni penetapan produk hukum dirancang dalam timbangan prinsip untuk mencegah "kekacauan" lebih didahulukan dan diutamakan dibanding kemungkinan "maslahat" yang hendak diperolehnya.

Perspektif "ushul fiqih" di atas relevan dalam konteks membaca putusan MK tersebut. Bukan saja karena pilihan sistem pemilu "terbuka" bersifat "open legal policy", yakni kewenangan bersama DPR RI dan presiden tetapi dalam konteks "pencegahan dini" atas kemungkinan "chaos" jika sistem pemilu diputuskan "tertutup".

Di sini persoalannya bukan apakah "negara tidak akan bubar" jika diterapkan sistem pemilu "tertutup" sebagaimana dinarasikan seorang pejabat publik melainkan bagaimana penetapan produk hukum diletakkan dalam prinsip bernegara yang aman, tidak "chaos" dan legitimed secara politik. Karena negara hadir tidak di ruang hampa politik.

 

Baca juga: Partai Ummat Bakal Dukung Prabowo Jika Anies Gagal Nyapres

 

Artinya, sikap penolakan keras mayoritas mutlak fraksi di DPR RI, yakni 8 fraksi atas sistem proporsional "tertutup" - berbanding satu fraksi yang setuju, yakni PDIP - jelas memaksakan pilihan sistem "tertutup" tidak legitimed secara politik dan potensial "chaotic", yakni menimbulkan situasi kacau dengan segala effect sosial politik turunannya.

Karena itu, kita semua tentu harus bersyukur MK telah memutuskan secara arif dan bijaksana bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem pemilu proporsional "terbuka".

Selanjutnya mari kita kawal bersama proses pemilu 2024 berjalan  jujur dan adil untuk mendapatkan para wakil rakyat yang kredibel dan akuntabel (siddiq dan amanah).

Wassalam.

 

KOMENTAR