Relasi Partai dan Caleg, Studi Kasus Politik di Indramayu

Timoteus Duang

Saturday, 17-06-2023 | 11:03 am

MDN
H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

INDRAMAYU, INAKORAN.COM

Oleh: H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

Seorang kawan pimpinan partai poltik di Indramayu tampak "sumringah" berdiskusi bersama penulis pasca Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (15/6)2023) memutuskan pemilu legislatif (pileg)  2024 tetap menggunakan sistem proporsional "terbuka".

Ia merasa bahwa dengan sistem proporsional "terbuka", yakni caleg "terpilih" ditentukan besaran raihan elektoral caleg—bukan nomor urut—maka pemenangan partai lalu sepenuhnya dibebankan di pundak kompetisi antar caleg di dalam partai yang dipimpinnya.

Kontestasi pileg direduksi seolah-olah kontestasi "caleg" bersifat personal secara "otonom"  atau ibarat  "pilkades", pilkada dan atau pilpres di mana faktor pesona figur lebih determinan menentukan.

Cara pandang di atas relatif umum dipahami para aktivis politik di Indramayu.

Baca juga: Megawati, Konstitusi dan Pilpres 2024

Akan tetapi jelas keliru kontestasi pileg direduksi sepenuhnya dalam siklus kompetisi antar caleg di dalam internal partai, sebuah cara pandang potensial mengalami kegagalan target raihan elektoral.

Riset data elektoral di bawah ini meskipun bersifat nasional memberikan gambaran "induktif" terhadap kerja elektoral partai di tingkal "lokal", yaitu:

Pertama,  survei "Indikator Politik" atas hasil pemilu 2009 dan 2014 dengan 44 sampel dapil di Indonesia menggambarkan fakta elektoral bahwa kontribusi elektoral partai terhadap caleg sebesar 70% berbanding terbalik di mana proporsi kontribusi caleg terhadap elektoral partai hanya 30%.

Kedua, temuan riset data di atas berkoneksi dengan temuan empat kali hasil survey "Litbang Kompas" (periode 2021-2022) bahwa "motif" pemilih dalam menentukan pilihan politiknya dalam kontestasi pileg 70% karena "kesukaan" terhadap partai berbanding 30% karena motif "kesukaan" terhadap caleg yang diusung partai.

Baca juga: Problem APBD, Wacana Hak Angket DPRD dan Implikasi Politiknya

Ketiga, varian lain dari temuan survei "Litbang Kompas" di atas bahwa pilihan pemilih terhadap partai politik 70% bersifat "pararel" dan seragam.

Dengan kata lain, 70% pilihan pemilih terhadap sebuah partai sama dari "tingkat" DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kab/kota dan 30% bersifat "zig zag" karena didorong motif pilihan "caleg" lintas partai.

Point penting dari riset data di atas adalah bahwa Pileg tetaplah kontestasi partai politik betapapun pileg menggunakan sistem proporsional "terbuka".

Artinya faktor pemenangan tetap pada kekuatan dominan mesin partai dalam menghidupkan basis sosial elektoral bukan pada "kehebatan" caleg secara personal.

Baca juga: Erick Thohir Dan Posisi PBNU Dalam PILPRES 2024

Kompetisi caleg di dalam partai hanyalah salah satu variabel penting di antara konektivitas variabel-variabel penting lainnya.

Jadi, tidak ada satu pun caleg "hebat" bersifat personal secara otonom dalam kontestasi pileg kecuali terap di bawah konstruksi dan relasi elektoral partainya.

Dalam kerangka itulah memproyeksikan target perolehan "kursi" partai di tingkat "lokal" Indramayu misalnya semata-mata diletakkan pada kekuatan kompetisi dan "gizi" caleg tanpa intervensi dan penetrasi penguatan branding elektoral partai secara integral maka sebuah partai—sekali lagi—potensial akan mengalami kegagalan memenuhi "target".

Baca juga: Membaca Takdir Politik Puan Maharani

Di sinikah kerja pemenangan kontestasi pileg secara elektoral dalam konteks "lokal" Indramayu sekalipun harus berbasis survei profesional terukur untuk membaca detil kekuatan basis "inti" elektoral sebuah partai, kemungkinan basis elektoral baru yang bisa diuprgade dengan isu isu "kearifan lokal" dan orkestrasi kerja kerja caleg di dalamnya dalam satu tarikan nafas kerja politik.

Hanya dengan rute jalan itulah  partai politik di Indramayu memiliki peluang "lebih" menaikkan target raihan elektoral dan "kursi" tentu sambil sedikit berharap effect "ekor jas" dari kekuatan brand elektoral tokoh yang menjadi "icon"  magnitik dari sebuah partai politik di level nasional.

Selamat berkontestasi dalam Pemilu 2024. Wassalam.

 

KOMENTAR