Erick Thohir Dan Posisi PBNU Dalam PILPRES 2024
Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati sosial politik dan keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Sejumlah pengamat, publik dan bahkan warga Nahdlatul Ulama (NU) sendiri di level akar rumput mulai "meragukan" komitmen PBNU dibawah kepemimpinan Gus Yahya yang berkali kali menegaskan di berbagai forum dan kesempatan untuk tidak menjadi "pihak" dalam pertarungan kontestasi pilpres 2024.
Keraguan itu muncul bukan saja karena pucuk pimpinan PBNU adalah "orang orang politik", lebih dari itu, publik saat ini membaca relasi PBNU dan Erick Thohir, menteri BUMN bukan sekedar relasi kerjasama programatik melainkan relasi politik di mana PBNU menjadi seolah olah "endorsement" untuk panggung politik Erick Thohir menuju kontestasi pilpres 2024.
Berkali kali Erick Thohir mendapat panggung istimewa PBNU mulai dari tampil di puncak harlah NU di Bangkalan Madura (20/2/2022), menutup rangkaian harlah NU di Palembang (5/3/2032), terang terangan didukung Gus Yaqut, ketua umum GP Ansor, badan otonom kepemudaan NU notabene adik kandung ketua umum PBNU (Republika, 25/4/2022) dan kini di daulat menjadi ketua panitia harlah NU ke 100 tahun, tahun depan, harlah monumental untuk peralihan abad ke dua perjalanan sejarah pengabdian NU.
Karena itu, jika PBNU tidak mamou menghapus kesan "keraguan" publik di atas terkait relasi keberpihakan politiknya terhadap Erick Thohir maka :
Pertama, PBNU bukan saja akan kehilangan posisinya sebagI "bandul politik tengah" untuk menjadi jembatan "para pihak", lebih dari itu, PBNU akan kesulitan merintis jalan implementatif untuk mewujudkan visi besarnya "Merawat Jagat, Membangun Peradaban". Pra syarat mewujudkan visi besar di atas adalah kesediaan PBNU tidak tergoda politik praktis dan berkomitmen secara istiqamah pada level politik moral atau "high politics" dan menutup ruang menguatnya politik identitas".
Kedua, tudingan keras dan tajam La Nyala Mattaliti, ketua DPD.RI dan Masinton Pasaribu, anggota fraksi PDIP DPR RI bahwa Erick Thohir memperlalkukan BUMN ibarat partai politik untuk kepentingan branding dan konsolidasi elektoral politiknya bisa merugikan PBNU yang dipertautkan relasi politiknya dengan Erick Thohir sekurang kurangnya "kena getahnya" . Di sini pentingnya sikap politik bersandar pada kaidah fiqhiyah ala NU, yakni "dar ul mafasid muqoddam ala jalbil mashaleh, menghindarkan mudhorot lebih prioritas dibanding kemungkinan manfaat yang hendak diraihnya.
Ketiga, warga NU dalam arti pemilih sebagaimana kategori Clifford Gerzt adalah rumpun pemilih santri.jaringan pesantren NU. Tipologi pemilih santri ini adalah pemilih ideologis, sulit ditarik tarik untuk kepentingan tokoh politik.yang mendadak "dinaturalisasi" dengan branding ke NU an. Erick tThohir potensial gagal mengambil "ceruk" pemilih rumpun santri kecuali.mungkin warga NU dalam pengertian komunitas warga dengan amaliyah tradisi NU seperti tahilan dan lain lain yang di pulau Jawa basis "mataraman" adalah loyalis pemilih nasionalis - dulu disebut "abangan".
Penulis sungguh percaya bahwa PBNU mampu menjawab keraguan publik di atas dan berkomitmen tidak menjadi "pihak" dalam pertarungan kontestasi pilpres 2024. PBNU memiliki kapasitas sosial kultural memadai untuk menjadi "bandul tengah" dari kemungkinan polarisasi sosial yangekstrim dan tajam akibat residu politik sebagaimana pilpres 2014 dan pilpres 2019 yang hanya menghasilkan "kebiadaban verbal", ujaran kebencian dan sebutan "binatangisme politik" seperti sebutan kadrun, cebong dan kampret yang menjijikkan dan tak berkesudahan hingga saat ini.
Itulah tugas mulia PBNU dalam kerangka implementasi visi besarnya "Merawat Jagat, Membangun Peradaban".
Wallahu a'lamu bish showab
TAG#ERICK TOHIR, #ADLAN DAIE, #PILPRES2024
182205489
KOMENTAR