Tarik Tambang Konflik Internal PBNU Rois'Am Versus Ketua Umum ke Mana Ujungnya?

Hila Bame

Monday, 24-11-2025 | 17:41 pm

MDN

 

 

 


Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Membaca eskalasi konflik internal PBNU, Rois Am versus Ketua Umum PBNU, jelas tidak sederhana dan rumit, jangankan "orang luar" NU, bahkan bagi "orang dalam" NU sendiri, tidak memadai hanya dibaca dari "konferensi  pers" yang tersurat antar kedua belah pihak. 

Karena tidak sederhana dan rumit itulah, dulu Mitsuo Nakamura, pengamat asing pertama yang menjadi peserta "resmi" Muktamar NU ke 26 tahun 1979 sebagai "peninjau" membaca letak "keunikan" NU sebagai ormas Islam, sulit ditebak irama politik dan ke mana ujung endingnya.

Apakah "titik didih" konflik internal NU yang berlogo "tambang" melingkar longgar bermula dari soal konsesi usaha "tambang" sebagaimana ditulis Benny Bengke di "Suara Merdeka" (22/11/2025), lalu menjadi "tarik tambang" alias adu kuat antara Rois Am versus Ketua Umum PBNU, atau orkestrasi strategi menuju Muktamar NU tahun depan (akhir 2026) ?

Mengutip Mitsuo Nakamura, membaca dinamika NU berbeda dengan ormas Islam "modernis", mudah dibaca dari "protap" dan prosedur organisasi secara "hitam putih", lebih sederhana mengamatinya, jarang ada kejutan kejutan.

Ini berbeda dengan membaca NU, lebih rumit, termasuk dalam konteks membaca eskalasi konflik internal PBNU di atas,  tidak memadai hanya  dibaca dari sudut struktur organik dan alasan resmi keputusan rapat harian Syuriah PBNU.

Perbedaan lain adalah ormas ormas Islam lain umumnya dibentuk dulu secara struktur organik lalu mengembangkan  "amal usaha" secara terstruktur. NU justru kebalikannya. Ekosistem sosial NU telah terbentuk melalui tradisi jaringan pesantren kemudian distrukturkan dalam formalisme organisasi.

Dengan kata lain, kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya. Karena itu, sekali lagi, membaca NU lebih rumit, tidak bisa didekati sekedar mekanisme struktural organisasi. Kekuatan kultural pesantren adalah variabel tak terpisahkan dalam membaca NU.

Itulah rumitnya mengkonstruksi analisis dan kemungkinan turbulensi politiknya tentang eskalasi konflik "tarik tambang" antara Rois Am versus Ketua umum PBNU meskipun bukan yang pertama dalam sejarah dinamika konflik internal PBNU sebagai "jam'iyah", sebagai organisasi.

41 tahun silam peristiwa serupa pernah terjadi saat sejumlah "kiai sepuh" (Syuriah NU) mendesak  KH. Idham Kholid, mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU jelang Muktamar NU ke 27 tahun 1984, di Situbondo, Jawa Timur. Endingnya begitu elegan dan bermartabat bagi NU sebagai "jam'iyah".

Kini di hadapan kita, warga NU, puncak eskalasi konflik internal PBNU, Rois Am versus Ketua Umum telah "ditabuh" gendrangnya melalui rapat harian Syuriyah PBNU meminta Gus Yahya mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU. 

Deadline nya "keras" dan tidak main main, hanya diberi ruang waktu tiga hari bagi Gus Yahya untuk "mengundurkan diri" atau dalam istilah Pa Harto (1998) "menyatakan berhenti" dari Ketua Umum PBNU.

Di sisi lain, Gus Yahya dan faksi loyalisnya di PBNU dan sejumlah PWNU tak bergeming dengan tuntutan mundur tersebut atas nama legitimasi organisasi bahwa beliau terpilih dalam forum permusyawaratan tertinggi NU, yakni forum Muktamar NU di Lampung tahun 2021 dengan mandat periodesasi lima tahun. 

Harapan publik, khususnya warga Nahdliyin, tentu eskalasi konflik internal PBNU di atas dapat diselesaikan dengan cara bermartabat bagi kedua belah pihak dan bagi martabat jam'iyah NU untuk menghindarkan "dualisme" kepengurusan PBNU dalam tarik tambang eskalasi konflik makin keras.

Jika "dualisme" yang terjadi, sungguh sangat menyedihkan dalam sejarah NU sebagai jam'iyah, sebuah ormas keagamaan dengan ratusan juta pengikutnya, akan mengalami defisit kredibilitas di mata umat dan potensial melemah sebagai "subkultur" penyangga elemen kebangsaan.

Penulis percaya bahwa eskalasi konflik internal PBNU di atas akan berakhir penuh "kejutan", mengutip apa yang ditulis Prof. Burhanudin Muhtadi, dalam Kolomnya berjudul "Kekecualian NU",  di majalah "Tempo". Ia menulis begini :

"NU adalah "drama" itu sendiri. NU tanpa drama dan dinamika bukanlah NU yang kita kenal selama ini. Itu sebabnya selalu ada "elemen of surprise" baik kejutan kecil maupun besar yang mewarnai perjalanan panjang NU", tulisnya.

Dengan kata lain, dalam bahasa "joke" penulis, NU memang tak jarang piawai merumit rumitkan masalah sederhana tetapi selalu mampu mendesain cara sederhana untuk menyelesaikan masalah yang rumit. 

Semoga yang kedua inilah bisa mengakhiri eskalasi konflik internal PBNU di atas. 

 

 

TAG#ADLAN, #PBNU, #ISLAM

214035093

KOMENTAR