Menyoroti Perkawinan Campuran dan Anak Berkewarganegaraan Ganda Terbatas
JAKARTA, INAKORAN
Persoalan kewarganegaraan adalah salah satu yang mengalami perubahan besar pada masa reformasi, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pada UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 muncul perkembangan positif terkait dengan isu kesetaraan perempuan dan hak berkewarganegaraan ganda terbatas, bagi anak-anak hasil perkawinan antara WNI dengan WNA.
Di tengah era digital ini, dinamika yang terjadi tentu sangat cepat dan membutuhkan respon yang memadai. Pada konteks ini administrasi terkait anak-anak berkewarganegaraan ganda yang mulai usia 18 tahun hingga 21 tahun memiliki kewajiban memilih kewarganegaraan.
UU tersebut mewajibkan proses pewarganegaraan anak-anak dari perkawinan campuran (orang tua dari negara berbeda) untuk mendafarkan diri pada masa 4 tahun sesudah disahkannya UU Kewarganegaraan RI sebagaimana diatur pada Pasal 41.
Sayangnya ada sebagian orang yang tidak mengetahui beleid tersebut dan, ini barangkali sosialisasinya yang dianggab kurang gencar. Akibatnya hanya sedikit masyarakat yang mengetahuinya.
baca:
IKI Ingatkan Orangtua yang Nikah Campur Untuk Mengurusi Status Kewarganegaraan Anaknya
Selain itu Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) memberi perhatian terhadap kelahiran anak-anak WNI di negara ius soli, masa memilih kewarganegaraan bagi anak-anak berkewarganegaraan ganda terbatas, dan pewarganegaraan eks Anak Berkewarganegaraan Ganda.
Apa itu ius soli?
Ius soli atau jus soli adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat/tanah kelahiran seseorang. Ius soli berasal dari kata ius dan solum. Ius berarti hukum, dalil, atau pedoman. Sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah. (wikipedia)
Amerika Serikat (AS) menganut asas ius soli, karena itu setiap orang yang lahir di Amerika, otomatis menjadi warga negara Amerika Serikat.
Apa itu Ius sanguinis
Ius sanguinis atau jus sanguinis (bahasa Latin untuk "asas keturunan, hak untuk darah atau pertalian darah") adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan.
Asas ini dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Tiongkok. Keuntungan dari asas ius sanguinis adalah:
- Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara.
- Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara yang lain.
- Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme.
- Bagi negara daratan seperti Tiongkok, yang tidak menetap pada suatu negara tertentu, tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir di tempat lain (negara tetangga).
Ada lima faktor penentu kewarganegaraan seseorang antara lain: ius sanguinis (darah) ius soli (tanah) mixed regime, jure matrimoni dan naturalization, jelas Dr. A.Ahsin, S.H., M.H., narasumber diskusi virtual dengan mengangkat tajuk “Menyoroti Perkawinan Campuran dan Anak Berkewarganegaraan Ganda Terbatas” pada Jumat (28/5/21)
Secara prinsip Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis ditambah dengan ius soli terbatas dan kewarganegaraan terbatas. ujar Ahsin.
Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal
Indonesia, lanjut Dr Ashin, nyatanya kewarganegaraan seseorang tidak hanya diakui semata-mata berdasarkan darah keturunan saja merujuk penjelasan umum undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kewarganegaraan Republik Indonesia, (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) setidaknya ada 4 azas kewarganegaraan yang terdiri dari:
1. Asas ius sanguinis (Low of the blood) atau berdasarkan keturunan (bukan negara tempat kelahiran)
2. asas ius Soli ((Low of the soil) cara terbatas artinya penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang diberlakukan secara terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan.
3. Asas kewargaan tunggal asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang (18 tahun ke atas wajib memilih) dan
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak (sebelum masuk usia 18 tahun) sesuai ketentuan yang ada dalam UU kewarganegaraan.
Dr. Ahsin juga menambahkanbahwa Pasal 41. UU Kewarganegaraan sudah clear. Hanya saja sebagai warga negara masyarakat perlu aktif untuk mengikuti perkembangan untuk memperoleh hak mereka.
Narasumber kedua, Yuliani Wistarina Luthan (Ketua Umum Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia/PerCa Indonesia) menyampaikan apresiasi atas UU Kewarganegaraan yang telah berusia 15 tahun itu.
Hanya saja menurut Ani, panggilan akrab Yuliani Wistarina Luthan, UU tersebut sebisa mungkin tidak dijalankan secara statis. Perlu mengadopsi perkembangan zaman dan perkembangan usia anak-anak yang lahir dari pernikahan sah dari orang tua warga negara berbeda.(Lihat gambar di atas resume persoalan anak).
Persoalan yang dikemukakan Perca :
1 Sosialisasi yang sangat minim dan kurang memadai terutama di kota-kota kecil dan luar negeri
2. Pengetahuan dan informasi petugas di lapangan yang tidak akurat tidak konsisten dan cenderung misleading
3. Diperlakukan layaknya WNA murni padahal statusnya anak dari perkawinan campuran hal ini terkait biaya PNBP sudah direvisi tahun 2019 namun belum dapat di laksanakan
4. Bertolak belakang dengan aturan Keimigrasian (UU No 6 /2011 yang justru sangat memudahkan anak perkawinan campuran eks DK dan non DK untuk mendapat KITAP.
Diskusi virtual dimoderator oleh Antony Lee Editor Polhuk Harian Kompas dan sedikitnya seratusan peserta dari berbagai elemen masyarakat yang mempunyai kepedulian dengan UU Kewarganegaraan.
KOMENTAR