IKI Ingatkan Orangtua yang Nikah Campur Untuk Mengurusi Status Kewarganegaraan Anaknya

Sifi Masdi

Saturday, 29-05-2021 | 07:05 am

MDN
Gloria Natapradja Hamel [ist]

 

 

Jakarta, Inako

Kasus Gloria Natapradja Hamel yang  dicoret dari daftar pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) di Istana Negara pada 17 Agustus 2017 karena masih memegang paspor Perancis yang berlaku sejak Februari 2014 hingga Februari 2019,  menjadi sebuah pengalaman penting bagi orang tua yang nikah dengan warga asing  yang lalai dalam mengurus kewarganegaraan anaknya.

 

Salah satu alasan yang membatalkan Gloria ikut serta dalam Paskibraka tersebut, karena menurut UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan, seorang anak hasil kawin campur bisa memiliki dua kewarganegaraan sebelum usia 18 tahun.

 

 

BACA JUGA:  Buku Baru Kebijakan Pembangunan yang Digali dari Karakter Pemimpin

Dalam pasal 41 UU Kewarganegaraan itu, disebutkan bahwa seseorang yang belum berusia 18 tahun saat UU Kewarganegaraan diberlakukan pada tahun 2006, diberikan waktu paling lambat empat tahun untuk mendaftarkan diri.

Jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka Gloria tak bisa lagi mendaftarkan status kewarganegaraannya. Perempuan yang lahir pada tahun 2000 ini seharusnya didaftarkan ke Kemenkumham dalam rentang waktu 1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010 apabila hendak memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Setelah kejadian itu, ibunda Gloria, Ira Hartini Natapradja Hamel mengajukan gugatan UU 12/2006 Kewarganegaraan soal ketentuan mendaftarkan diri bagi anak hasil kawin campur yang berusia sebelum 18 tahun ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

BACA JUGA:  Pelangi IKI di bentangan Zamrud Khatulistiwa

Proses persidangan uji materi di MK pun memakan waktu tak sebentar. Sejumlah saksi hingga ahli dihadirkan. Dalam persidangan, terungkap, banyak anak hasil kawin campur yang kebingungan menentukan status warga negara.

Mereka umumnya tak tahu soal ketentuan yang mengatur pendaftaran untuk memperoleh status sebagai WNI dalam UU Kewarganegaraan.

 

BACA JUGA:  Saham yang Layak Dicermati Hari Ini, 12 Maret  2021

Dengan mengacu pada kejadian tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM  melakukan penelitian terkait status kewarganegaraan Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG) yang melampaui batas usia 21 tahun di empat daerah, yaitu DKI Jakarta, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah.

Hasil penelitian tersebut cukup mengejutkan. Ternyata kebanyakan orangtua yang memiliki anak-anak berkewarganegaraan ganda kurang memahami atau lalai terhadap batas usia 21 tahun. Hal itu secara secara yuridis berarti anak akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan menjadi orang asing.

 

BACA JUGA:  Koeman: Lionel Messi Seharusnya Tidak Meragukan Barcelona

Keterlambatan melaporkan pemilihan kewarganegaraan ini juga terjadi karena pemahaman yang salah terhadap batas usia 21 tahun. Sebagian orangtua   ABG tidak sadar bahwa masa memilih itu adalah mulai umur 18 hingga usia 21 tahun, dan bukan saat anak menginjak usia 21 tahun baru mengurus kewarganegaraannya. Kesalahan ini mengakibatkan banyak anak melampaui batas usia 21 tahun dan otomatis menjadi orang asing. Tata cara terkait status kewarganegaraan ABG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017.

Setelah kasus Gloria mencuat,  pada tahun 2017 lalu, Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) melakukan sarasehan dalam rangka untuk menghimpun berbagai masukan terkait dengan anak yang terancam stateless atau kehilangan kewarganegaraan. Sarasehan itu dilakukan karena selama ini IKI menerima banyak laporan dan pengaduan dari warga masyarakat dari kalangan perkawinan campur. Temuan IKI menunjukkan bahwa pasca diundangkannya UU Kewarganegaraan, ternyata masih banyak masalah di lapangan, terutama masalah yang dihadapi anak hasil perkawinan campur.

Oleh karena itu, IKI terus mengingatkan para orang tua yang kawin campur agar tidak lupa mengurus status kewarganegaraan anaknya agar tidak terancam stateless.

     

 

 

KOMENTAR