NU dalam Perspekti Data Pilpres 2014 dan 2019

Hila Bame

Wednesday, 09-06-2021 | 21:07 pm

MDN

 

Oleh : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

JAKARTA, INAKORAN 

Pilpres serentak dengan pileg telah ditetapkan pada tanggal.28 Pebruari 2024. Hasto Kristyanto, Sekretaris Jenderal PDI P menggagas skenario cukup dua pasangan calon seperti pilpres 2014 dan 2019. Apa yang harus dilakukan NU sebagai ormas Islam terbesar untuk mencegah agar bangsa ini tidak retak minimal residu polarisasi politik tidak semakin tajam membelah secara sosial jika pilpres.2024  benar benar hanya diikuti dua pasangan calon?


Mari sedikit kita bedah peta data pilpres 2014 dan pilpres 2019  di bawah ini dari analisis data LSI (lingkaran survey Indonesia) sebagai berikut : 

Pertama, dalam pilpres 2014 di empat Provinsi ujung timur Indonesia dengan populasi mayoritas non muslim seperti Papua, NTT, Bali dan Sulawesi Utara, Jokowi menang telak di atas rata.rata 60% - 70% dan kemenangannya naik hingga 20% di pilpres 2019, dibanding pilpres 2014.  Sebaliknya Prabowo menang di Provinsi ujung barat seperti Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan populasi mayoritas islam di atas rata rata  55% - 60% dan menang makin telak di pilpres 2019 dengan rata rata kenaikan sebesar 15% - 25 %.


Kedua, di pulau Jawa di wilayah bagian timur, yakni Jateng, DIY dan Jatim dalam pilpres 2014 Jokowi menang dan makin telak kemenangannya di pilpres 2019. Sebaliknya di Jawa bagian barat, yakni.Jawa Barat dan Banten Prabowo menang di pilpres 2014 dan naik  kemenangannya di pilpres. 2019 meskipun KH.Makruf Amin sebagai cawapres dari  representasi NU dan Banten serta secara silent dibantu penetrasi program dari sejumlah kepala daerah. Hanya di.DKI Jakarta relatif berimbang dengan Jokowi sedikit unggul dalam dua pilpres tersebut.


Ketiga, dari.sisi politik aliran, mayoritas non muslim memilih Jokowi hingga 83%. Populasi pemilih muslim di permukaan relatif berimbang dengan proporsi pemilih Jokowi 52% dan Prabowo 48%. Pemilih "islam kota" (rumpun aksi 212) dengan 3% populasi pemilihnya mutlak afiliasi ke Prabowo. Pemilih NU dengan kecenderungan mayoritas para elite strukturalnya merapat ke Jokowi dengan populasi 50% dari pemilih muslim  terdistribusi ke Jokowi 54% dan ke Prabowo 46% (selisih 8%). Pemilih Muhamadiyah.dan non afiliasi.ormas Islam relatif berimbang  di antara ke dua capres.


Pembelahan pilihan politik berbasis data di atas haruslah dicermati oleh NU sebagai ormas Islam paling moderat bahwa menggiring pilihan publik dengan narasi bahkan tuduhan anti Pancasila, pro khilafah dan radikal  di satu sisi dan sebaliknya menuduh pihak lain anti islam dan pro komunis sungguh sangat berbahaya bagi integrasi kebangsaan kita. Ongkos luka batin dan retaknya kohesi kebangsaan tidak bisa disembuhkan hanya dengan misal nya meng akomudasi Prabowo dalam struktur kabinet Jokowi.


Dalam kerangka itu, NU kelak di tengah kontestasi pilpres 2024 harus menjadi simpul moderasi di tengah agar residu perbedaan pilihan politik tidak menjadi intensi ketegangan antar pemeluk agama yang berbeda. Bahkan di antara perbedaan bendera ormas Islam. 


NU harus mengambil peran di arus utama publik untuk menjaga narasi narasi kontestasi pilpres 2024 tidak saling membelah dengan pemantik suku, ras dan agama melainkan kontestasi tukar tambah gagasan bagaimana  pilpres membawa out put langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Inilah "amal.jariyah kebangsaan" NU,.tidak boleh ditukar oleh pragmatisme politik apapun, oleh siapa pun dan kapan pun demi Indonesia Raya yang kokoh lahir batin berdasarkan falsafah dasar Pancasila.


Wassalam.

KOMENTAR