NU dan Pancasila yang diseret Paksa

Hila Bame

Monday, 24-05-2021 | 10:02 am

MDN

 


Oleh. : Adlan Daie

Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.
 

JAKARTA, INAKORAN

 

Tanggal 1 Juni Hari lahir Pancasila sejak ditetapkan secara resmi melalui Keppres (Keputusan Presiden)  no. 24 Tahun 2016,  di era Presiden Joko Widodo. Dalam rangka menyambut 1 Juni 2021 tulisan singkat ini sepintas akan memotret bagaimana Nahdlatul Ulama (NU)  mencegah Pancasila tidak "diseret paksa" tafsirnya hanya untuk kepentingan rejim penguasa politik dan bersifat slogan tidak ramah. Mencegah Pancasila tidak kehilangan kekuatannya, mengutip pidato bung Karno di sidang BPUPKI, sebagai "philosophiche grandslag", falsafah dasar negara.

 

Tentu NU setuju 1 Juni ditetapkan sebagai  hari lahir Pancasila merujuk pada pidato bung Karno di sidang BPUPKI 1 juni1945 saat pertama kali memperkenalkan Pancasila. Problemnya saat Pancasila dicoba "diseret paksa" tafsirnya hanya merujuk pada pidato bung Karno 1 Juni di atas dengan tafsirnya bisa diperas menjadi "Trisila"  dan atau "Ekasila" sebagaimana dirumuskan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) , NU menolaknya secara tegas dan elegan dengan argumen argumen yang sangat otoritatif dan berwibawa berbasis pandangan keagamaan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) yang dianutnya.

 


Sikap penolakan NU di atas bukan lah yang pertama saat Pancasila diseret paksa dalam tafsir tunggal rejim penguasa politik  Dulu di Sidang Umum MPR RI tahun 1978 fraksi PPP (mayoritas faksi NU) melakukan aksi "Walk Out" menolak pemaksaan tafsir tunggal Pancasila sebagai alat kepentingan politik rejim Ode Baru dalam bentuk tunggal "indoktrinasi" P4. Bayangkan jika sikap politik "Walk Out" NU terjadi hari ini di tengah tengah polarisasi politik yang sangat tajam dan membelah secara sosial betapa "dibully" nya NU sebagai ormas anti Pancasila sebagaimana rejim Orde Baru dulu menuduhnya.

 


Di sini jelas bahwa  NU sebagai ormas Islam yang moderat, toleran dan penjaga setia kebhinnekaan bangsa dalam dinamika sejarahnya NU tidak selalu dalam "satu frekuensi" posisi politiknya dengan rejim penguasa politik (baca:  Pemerintah) ketika Pancasila dicoba diseret paksa tafsirnya hanya untuk kepentingan melanggengkan rejim kekuasaan politik atau "alat pukul"  stigma politik. Inilah cara elegan NU merawat Pancasila sebagai "falsafah dasar negara", tidak cukup sekedar berteriak nyaring  "Saya Indonesia, Saya Pancasila", dengan tatapan mata yang memvonis tajam golongan politik lain.
 

Dalam perspektif NU Pancasila adalah "falsafah dasar negera", titik temu konsensus nasional yang bersifat final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirumuskan dengan sangat baik tentang pola hubungan Islam dan Pancasila dalam lima pandangan dasar sebagaimana ditetapkan dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jatim tahun 1984 (selengkapnya baca dasar penolakan NU terhadap RUU HIP). Finalisasi pandangan NU tentang Pancasila adalan Pancasila sebagaimana diputuskan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum secara resmi dalam pembukaan UUD 1945.

Karena itu, bagi NU semata mata menonjolkan  Pancasila 1 Juni tapi mengabaikan proses dialektika Pancasila 22 Juni dan finalisasi Pancasila 18 Agustus sebagai dasar final bernegara hanya akan membawa Pancasila kehilangan kekuatannya sebagai titik temu konsensus nasional yang bersifat final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Upaya menyempitkan tafsirnya  hanya pada sejarah Pancasila 1 Juni sama bahayanya dengan ikhtiar menghidupkan dan memperluas tafsir "syari'at" Pancasila 22 Juni (Piagam Jakarta).

 

Di titik inilah "amal jariyah kebangsaan" NU telah teruji  sejarah sangat kokoh dalam hal merawat Pancasila tetap istiqomah dalam "khittah"nya. NU akan terus diuji untuk menjaganya agar di satu sisi tidak mudah terseret dalam arus deras ideologi trans nasional yang membonceng agama dan di sisi lain tidak mudah jatuh pula dalam "godaan godaan" transaksi politik  yang menyeretnya hanya menjadi juru bicara Pancasila sebagai alat kepentingan rejim kekuasaan politik. Bukan sebagaimana yang diamanatkan "khittah" Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo Jatim.

Selamat menyambut hari lahir Pancasila 1 Juni 2021. "Saya Islam, Saya NU,. dan Saya Pancasila".

Wassalam.!

 

KOMENTAR