Pasar Masih Menanti Hasil Akhir Perundingan Dagang AS-China

Sifi Masdi

Tuesday, 29-01-2019 | 13:17 pm

MDN
Ilustrasi persaingan AS dan China [ist]

Jakarta, Inako

Performa pasar keuangan Indonesia bervariasi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah, sementara rupiah masih mampu menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG menutup hari dengan koreksi 0,37%. Padahal IHSG mengawali perdagangan dengan penguatan, meski sangat terbatas. Seperti halnya IHSG, bursa saham utama Asia lainnya juga melemah. 

Sedangkan rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% terhadap dolar AS. Namun kinerja rupiah sebenarnya kurang meyakinkan, karena apresiasinya terus menipis. 

Tidak hanya Indonesia, pasar keuangan Asia agak jittery (gemetar) menanti rencana dialog dagang AS-China. Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan China Liao Min akan mengunjungi Washington pada 28 Januari waktu setempat.

Mereka akan 'membuka jalan' bagi kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada 30-31 Januari. Liu akan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

Sembari menantikan kabar terbaru dari Washington, sepertinya investor memasang mode wait and see. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. 

Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 661,58 miliar. Sementara di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,1 basis poin yang menggambarkan keraguan pasar untuk masuk di instrumen ini. 

Selain menanti berita dari Washington, sepertinya pelaku pasar juga mencemaskan rilis data terbaru di China yang kurang ciamik. Pertama, Biro Statistik Nasional China mencatat laba perusahaan industri di Negeri Tirai Bambu terkontraksi alias negatif alias turun 1,9% secara year-on-year (YoY) pada Desember 2018. Lebih dalam dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya yaitu minus 1,8% YoY. 

Sepanjang 2018, pertumbuhan laba industrial China adalah 10,3% YoY. Jauh melambat dibandingkan 2017 yang mencapai 21%. 

Kedua, Bank Sentral China (PBoC) merilis data penyaluran kredit properti yang juga melambat. Sepanjang 2018, penyaluran kredit properti tumbuh 20% YoY sementara pada 2017 tumbuh 20,9%. 

Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di China adalah sebuah kenyataan. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi seluruh negara termasuk Indonesia. 
 

 

KOMENTAR