Pengamat Peringatkan Soal Darurat Utang Indonesia

Inakoran

Wednesday, 14-02-2018 | 00:06 am

MDN
Grafik pertumbuhan utang pemerintah pusat [kemenke

Jakarta, Inako

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, memberikan sejumlah catatan kepada Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, setelah menerima penghargaan sebagai Menteri Terbaik di Dunia versi World Government Summit.

Catatan pertama adalah terkait dengan meningkatkan jumlah utang Indonesia. Menurut Bhima, utang pemerintah pusat pada 2018 akan mencapai lebih dari Rp 4.000 triliun dan masuk kategori lampu kuning. Karena itu, ia mendesak Menkeu dan jajarannya untuk mengelola utang tersebut secara ekstra hati-hati. Pasalnya, jumlah utang tersebut sudah masuk dalam kategori lampu kuning.

"Di 2018, utang akan bertambah sekitar Rp 414 triliun. Artinya total utang sampai akhir tahun ini bisa mencapai sekitar Rp 4.414 triliun. Dan ini sudah masuk lampu kuning sebenarnya, karena sudah 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)," kata Bhima, di Jakarta, Selasa (13/2/2018).

Sekedar diingat, data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat sampai akhir Desember 2017 mencapai Rp 3.938,7 triliun atau nyaris Rp 4.000 triliun.

"Kita harus hati-hati karena kenaikan utang tidak selalu berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan utang cukup cepat, tapi pertumbuhan ekonomi stagnan di 5 persen," tegas Bhima memberikan catatan ke Sri Mulyani.

Catatan kedua, ‎Bhima mengingatkan pemerintah untuk betul-betul menjaga penerimaan negara. Sebab pada tahun ini, sambungnya, tidak ada lagi program pengampunan pajak (tax amnesty) yang menjadi penopang penerimaan pajak. Dia mencatat, penerimaan pajak di 2017 terjadi shortfall atau kekurangan pajak sekitar Rp 132 triliun.

"Salah satu ‎catatan, jangan sampai penerimaan pajak kita yang begitu berat, kemudian pajak jadi agresif. Kalau dalam teori ekonomi, kalau agresif maka pajak justru berisiko membuat pelaku usaha semua menahan diri, apalagi ini tahun politik," Bhima menjelaskan.

Catatan ketiga untuk Menkeu, kata Bhima, adalah terkait dengan  pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak pernah mencapai target sejak 2014. Saat Sri Mulyani kembali menjabat Menkeu, sambungnya, memangkas target pertumbuhan ekonomi yang terlalu jauh dengan patokan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan kredibilitas pemerintah dalam menyusun proyeksi anggaran, termasuk asumsi pertumbuhan ekonomi. Harusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih dari 5,2 persen atau sesuai target APBN 2017, tapi faktanya kita hanya tumbuh 5,07 persen," terang Bhima.

 

KOMENTAR