Pertemuan NU dan Muhammadiyah Dalam Kepemimpinan Moral Menuju Pemilu 2024

Hila Bame

Friday, 26-05-2023 | 11:36 am

MDN
H. Adlan Daie (Pemerhati politik dan sosial keagamaan) [Inakoran.com]

 


Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dipimpin langsung ketua umum kedua ormas Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia tersebut di kantor PBNU ( 25/5/2023) menghasilkan kesepakatan bersama tentang pentingnya "kepemimpinan moral" dalam mengawal "pemilu berkualitas dan demokrasi bermartabat" menuju pemilu 2024  yang jurdil dan berkeadaban.


Dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) "kepemimpinan moral" politik di atas dari sudut pandang penulis adalah "kepemimpinan pancasilais",  yakni kepemimpinan politik di mana proses kontestasi pemilu, out put kepemimpinan politik dan orientasi kebijakan kebijakan publik turunannya disandarkan pada nilai nilai moral Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.


Pancasila dalam konteks Pancasila yang disahkan final pada tanggal 18 Agustus 1945 hasil konsensus final para pendiri bangsa,  "the founding fathers" sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 bagi NU dan Muhammadiyah adalah "asas tunggal" yang menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konstruksi merawat politik kebangsaan yang beragam dan berkeadaban.


Kesepakatan kolaboratif NU dan Muhammidyah di atas dalam perspektif menuju pemilu 2024 penting artinya di tengah dinamika proses kontestasi politik yang dikhawatirkan Mayor Jenderal Kunto Arif Wibowo, Pangdam III Siliwangi sudah "melenceng" jauh dari nilai nilai Pancasila sebagaimana secara lugas ia tulis secara terbuka dalam tulisannya berjudul "Etika Menuju 20234" di harian *Kompas"  (14 April 2023).


Seruan keprihatian bersama para rektor dan pimpinan Universitas se Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY)  yang diupload dalam vidio pendek dan viral di berbagai platform media sosial juga mengirim pesan moral yang sama tentang pentingnya proses "pemilu berkualitas dan demokrasi bermartabat".


Pengalaman "pahit" dua kali pemilu terakhir tahun 2014 dan 2019 menjadi pelajaran berharga bagi NU dan Muhammadiyah untuk tidak membiarkan kontestasi politik rumpah ruah dengan praktek "money politics" secara massif dan hanya diisi narasi berbalas pantun ujaran kebencian (hate soeech), saling merendahkan unsur keragaman etnisitas dan politisasi identitas agama bahkan perbedaan baju "ormas" untuk menyerang dalam rivalitas politik.


Penggunaan "politik identitas" dengan narasi narasi keagamaan dan etnisitas secara konfliktual sangat berbahaya dalam kontestasi politik, berpotensli merusak harmoni sosial dan sendi sendi kebangsaan. Ongkos sosialnya terlalu mahal bagi keindonesiaan yang beragam.


Di sinilah urgensi pertemuan NU dan Muhammadiyah di atas dalam perspektif kepemimpinan moral menuju kontestasi pemilu 2024 sekaligus  langkah responsif terhadap kekhawatiran sejumlah pihak tentang proses politik menuju pemilu 2024 termasuk kekhawatiran Pangdam III Siliwangi dan forum Rektor se DIY tersebut di atas.


NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam paling berpengaruh di Indonesia memiliki kapasitas moral politik untuk rerlibat dan melibatkan diri meletakkan kekuatan moral agama memandu dinamika kontestasi politik dan mencegah agama, ras dan golongan menjadi alat "politik identitas" untuk menyerang pihak lain dalam persaingan politik.


Hanya dengan cara itulah kontestasi pemilu 2024 menjadi jalan mulia dan beradab dalam proses seleksi kepemimpinan politik dan tidak berbalik arah menjadi ajang caci maki dan ujaran kebencian. Sebuah pertaruhan mahal bagi keutuhan bangsa.


Selamat untuk NU dan Muhammadiyah, sebuah teladan moral politik bagi.kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam dan berkeadaban. 


 

TAG#ADLAN, #NU, #MUHAMMADYAH

163576615

KOMENTAR