Risalah Terbuka Untuk Para Calon Bupati Indramayu 2024 Tentang Kekuasaan
Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Hakekat kekuasaan di level dan tingkatan apapun dijelaskan oleh Al Qur'an di bawah ini :
"Kekuasaan milik Allah. Allah akan memberikan kekuasaan itu kepada hambanya yang Dia kehendaki. Allah akan cabut kekuasaan itu dari hambanya yang Dia kehendaki" (Q.S.Ali Imron, 26).
Ayat diatas bagi para calon bupati yang meyakini kebenaran agama yang dipeluknya adalah "sandaran hati" betapa penting untuk direnungkan dalam refleksi kedalaman jiwa.
Ini sebuah keyakinan bahwa "kekuasaan" milik Allah, maka menjadi calon bupati adalah jalan "ikhtiar" untuk "menjemput" kekuasaan dari Allah dengan "segala cara yang halal".
Modus "menghalalkan segala cara" adalah sebaliknya, sebuah kehendak dan ambisi "tak terhingga" untuk menjadi bupati sebagai ekspresi "nafsu" merebut kekuasaan dari tangan "tuhan".
Itulah bedanya "ikhtiar" dan "bernafsu" dalam prinsip agama tentang kekuasaan, sesuatu yang dapat dibaca dari "cara" dan "modus" untuk meraihnya apakah dengan "segala cara yang halal" atau sebaliknya "menghalalkan segala cara".
Dalam ayat lain Al Qur an mengingatkan bahwa "nafsu" berkuasa mendorong cara "ugal ugalan" untuk meraihnya, cenderung menghalalkan cara "binatangisme politik", mengutip George Orwell.
Cara "ugal ugalan" dalam Al Qur an disebut dengan diksi "At takatsur". Setiap sikap dan mentalitas "at takatsur", yakni "ugal ugalan" ujungnya adalah "Al maqobir", sebuah "kuburan" kehinaan yang nista (S Q. At takatsur, 1 - 2).
Pandangan agama di atas penting untuk disuarakan kembali di tengah tensi eskalasi politik makin krusial jelang hari "H" pencoblosan beberapa hari ke depan.
Pasalnya amanat konstitusi UUD 1945 bahwa pemilu (juga pilkada) harus dilaksanakan di atas prinsip "jurdil" dan "luber" (langsung umum bebas rahasia) sudah "ludes" justru "ditelan" oleh nafsu "binatangisme politik", oleh anasir anasir jahat pelaku politik.
Intervensi agama harus dihidupkan "menyala" kecuali agama "hanya" dipandang urusan "di masjid" dan politik urusan "tipu tipu" di ruang yang lain, tak tersentuh agama, etik dan moral. Itulah "binatangisme politik".
Intervensi perspektif keagamaan di atas untuk membimbing para calon bupati dan para pendukungnya bahwa menjadi bupati adalah ruang "ikhtiar. Allah tidak bisa "dipaksa paksa" menyerahkan kekuasaan "kursi" dengan cara culas bahkan yang direncanakan sistemik dan terstruktur sekalipun.
Ikhtiar menjadi bupati bukan politik "tanam paksa" untuk "memaksa" menaklukkan rakyat melainkan jalan menjadi pemimpin. Pemimpin dalam pandangan sosiologi politik Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim, penulis kitab sosiologi "Mukaddimah", adalah jalan politik "mulia dan beradab".
Karena itu cara cara untuk meraihnya tidak boleh menodai "kemuliaan" dan "keadaban" tujuan hendak menjadi bupati.
"Hendaklah kalian jujur, tidak curang karena jujur dan tidak curang menuntun ke jalan kebaikan dan maslahat, sebaliknya kebohongan, muslihat, apalagi kecurangan terstruktur mempercepat jalan kehancuran", demikian pesan kenabian (Hadist).
Hanya cara itulah jalan politik kita bisa "bermartabat" kecuali memang sengaja untuk menempuh jalan "sesat politik" sebelum garis takdir kuasa Tuhan menghentikannya.
TAG#ADLAN
188750879
KOMENTAR