Roman Lendong: Informasi Publik Sering Dihambat Birokrasi

Binsar

Wednesday, 28-08-2019 | 09:14 am

MDN
Komisioner KIP, Roman Lendong, M.Si (tengah) [Inakoran.com/Ina TV]

Depok, Inako

Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Roman Lendong, M.Si, mengatakan sikap sejumlah kepala daerah atau pimpinan badan publik tidak jarang menjadi penghambat bagi masyarakat dalam mendapatkan atau mengakses informasi publik. Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah mengamanatkan bahwa badan publik adalah lembaga yang menjamin masyakaat mendapatkan informasi publik yang benar dan akurat.

Simak Video InaTV jangan lupa "klik Subscribe and Like" merubah mimpi menjadi kenyataan.

 

Pernyataan itu disampaikan Roman Lendong, saat menjadi pembicara kunci dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Menuju Penyusunan Index Keterbukaan Informasi Publik yang diselenggarakan oleh kelompok kerja Komisi Informasi Pusat (KIP) di Gedung ULT/ PPMT Universitas Indonesa, Depok, Selasa (27/8/19).

“Saya pernah menghubungi seorang seorang bupati di suatu daerah melalui layanan WA dan di akhir pesan, saya menyebut nama dan identitas saya sebagai anggota komisioner KIP, namun itupun tidak dibalas. Nah, kalau saya yang dari KIP tidak ia respon, bagaimana mungkin kepala daerah itu melayani pertanyaan masyarakat biasa saat menanyakan informasi tertentu terkait pelayanan publik,” keluh Roman, tanpa menyebut nama kepala daerah dimaksud.

 

Peserta FGD [Inakoran.com/Ina TV]

 

Keluhan Roman sangat beralasan, meningat secara filosofis, setidaknya terdapat lima tujuan dan harapan dari dibentuknya UU KIP.

Tujuan dan harapan dimaksud adalah; menjamin pemenuhan hak publik atas informasi, mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang transparan dan tata pemerintahan yang baik (good governance), mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis berdasarkan transparansi dan akuntabilitas, menciptakan badan publik dengan pelayanan yang baik kepada masyarakat, dan yang terakhir adalah untuk meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggaraan negara agar terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Akan tetapi, meski memiliki tujuannya sangat baik, faktanya, UU KIP belum terimplementasi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya; kondisi badan publik yang masih malu-malu atau masih enggan untuk membuka informasi ke publik, adanya regulasi yang kurang jelas, dan faktor UU KIP yang belum sepenuhnya dipahami. Akibatnya, apa yang ingin dicapai dengan dibentuknya undang-undang ini tidak pernah tercapai.

Saat ini, kehadiran UU KIP dengan segala instrumennya seolah hanya menjadi harimau tak bertaring. UU yang seharusnya menjadi pembuka jalan untuk penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, nyatanya belum terimplementasi dengan baik dan menyeluruh.

Masih banyak daerah yang menganggap UU KIP tidak penting. Informasi yang seharusnya dibuka ke publik, malah sering kali dianggap informasi yang dikecualikan. Keberadaan UU KIP masih sebatas ajang perlombaan untuk mencari penghargaan tentang daerah mana yang memiliki indeks keterbukaan informasi publik terbaik.

FGD ini menghadirkan tiga narasumber yang kompeten yakni Dr. Otho Hadi (dosen FISIP UI), Freddy Tulung (dosen LSPR), dan Dr. Ismail Cawidu, M.Si (dari Kominfo). Selain ketiga narasumber di atas, FGD juga dihadiri perwakilan dari ICW, aktivis LSM dan wartawan.

Dalam paparannya, Ismail Cawidu mengatakan bahwa FGD ini memiliki dua tujuan yakni untuk mendapatkan masukan-masukan strategis untuk memperkaya materi menuju penyusunan index Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia dan kedua melakukan analisis untuk menemukan metodologi dan ruang lingkup yang komprehensif dalam rangka penyusunan index Keterbukaan Informasi Publik.

Menurut Ismail, efektivitas pelaksanaan UUD KIP ditentukan oleh tiga hal yakni, pertama Tingkat Pemahaman Substansi UU KIP yang selaras dengan Tujuan UU; kedua Dukungan terhadap struktur dan kelembagaan serta sarana, dan ketiga Tingkat kesadaran hukum masyarakat dan element lainnya.

 

Anggota Tim kelompok kerja KIP [Inakoran.com/Ina TV]

 

Dalam konteks Penyusunan Index Keterbukaan Informasi Publik, Inakoran.com/Ina TV mencatat tiga hal yang perlu dilakukan agar UU KIP benar-benar diimplementasikan secara efektif di masyarakat.

Pertama, melakukan sosialisasi kepada pihak terkait, seperti birokrat dan masyarakat tentang informasi yang terbuka dan dikecualikan agar tidak ada lagi urusan yang berbelit-belit ketika ada yang meminta informasi, atau adanya upaya menghalang-halangi masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Kedua, membenahi regulasi yang bermasalah. Keberadaan PP dan Permendagri seharusnya sejalan dengan amanat UU KIP, terutama dalam pembentukan PPID. Keberadaan PPID yang terpusat menyebabkan kerancuan dalam proses permohonan informasi, sebab informasi yang dimohonkan sering kali tidak serta merta tersedia.

Ketiga, memperkuat Komisi Informasi yang selama ini hanya berperan seperti 'macan ompong', karena putusannya tidak memiliki daya paksa. Komisi Informasi harus diperkuat dengan cara merumuskan ulang regulasi terkait sifat putusan dari Komisi Informasi.

KOMENTAR