TPDI: Kejakti NTT sebaiknya Upayakan Perdata Terlebih Dahulu Memastikan Status Kepemilikan Tanah Pemkot Kupang

Hila Bame

Sunday, 25-10-2020 | 10:01 am

MDN

 

Jakarta, Inako

 

Kejaksaan Tinggi NTT jangan gaspol (kecepatan tinggi) dulu, dalam mengungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Kupang, terkait dengan dugaan penjualan asset Pemerintah Daerah oleh Johanes Saelan, Walikota Kota Kupang kepada pihak Ketiga.

Kejaksaan Tinggi NTT perlu hati-hati, karena tindakan Pemkot Kupang adalah tindakan keperdataan karena menyangkut tindakan Pemerintah Daerah dalam jual beli tanah yang tunduk pada Hukum Perdata bahkan Hukum Adat Kupang, demikian catatan Pengacara Petrus Selestinus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang diterima Inakoran.com Minggu (25/10/2020)

Ini menyangkut pemilikan tanah oleh pihak ketiga karena jual-beli yang harus dipertimbangkan, guna menghindari Kejaksaan dari tindakan salah kaprah bahkan terjadi kriminalisasi terhadap mantan Walikota atau mantan pejabat lainnya.

Oleh karena itu, Kejaksaan Tinggi NTT sebaiknya menangguhkan seluruh proses pidana yang sedang terjadi dan seyogianya  menempuh upaya perdata yaitu menggugat pihak-pihak yang diduga terlibat dalam jual beli atas tanah yang diklaim sebagai milik Pemda, untuk memastiknan terlebih dahulu, sah tidaknya jual beli dan pemilikan tanahnya, melalui mekanisme gugatan perdata di Pengadilan.

TANGGUHKAN PROSES PIDANA.

Langkah Kejaksaan Tinggi NTT menetapkan dan menahan Jonas Salean (mantan Walikota) dkk. karena diduga menjual tanah Pemda kepada pihak ketiga, sebagai langkah prematur, karena itu tangguhkan seluruh proses pidana, dan tempuhlah upaya perdata, sebagai langkah akomodatif memediasi Pemkot Kupang dan pihak Ketiga yang membeli tanah dimaksud untuk mencari titik temu.

Kejaksaan Tinggi NTT dan Pemkot Kupang harus mempertimbangkan aspek tindakan keperdataan yang sudah terjadi, yaitu peralihan hak antara Pemkot dengan pihak ketiga, ada proses penerbitan Sertifikat Tanah oleh Negara sebagai bukti pengakuan oleh negara, maka seluruh proses Perdata dan Administrasi yang sudah terjadi, harus diuji terlebih dahulu secara Perdata dan Tata Usaha Negara, agar Negara tidak dinilai ingkar janji. 

Kejaksaan tidak boleh terjebak dalam dugaan kriminalisasi atau politisasi kasus perdata untk kepentingan politik Pilkada NTT Tahun 2020 atau 2024 nanti, karena hukum positif kita memberi wewenang kepada aparat Penegak Hukum untuk menangguhkan proses pidana karena ada peristiwa perdata yang mendahuluinya dan tindakan itu tidak pernah dibatalkan secara perdata oleh para pihak yaitu Penjual dan Pembeli hingga saat ini.

ADA LANDASAN HUKUM FORMIL.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 jo. No. 4 Tahun 1980, intinya mengatur soal prejudicieel Geschief, bahwa, apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu.

Juga ada yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusannya No. 628 K/Pid/1984, yang memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mengenai status pemilikan tanah.

Selain itu dalam pasal 81 KUHP juga memberi wewenang kepada Hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan perkara pidana menunggu pemeriksaan sengketa perdatanya.

Semangat ini yang seharusnya menjadi dasar bagi Kejaksaan NTT melihat kasus dugaan korupsi dalam penjualan tanah yang diklaim sebagai aset Pemkot Kupang, pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.

Oleh karena itu Kejaksaan harus mempertimbangkan semua sarana hukum yang ada, mempertimbangkan konsep dan roh Peraturan Jaksa Agung tentang Restorative Justice yang sudah menjadi pedoman bagi kejaksaan dalam menangani kasus dugaan korupsi.

Meskipun kriteria kasus ini tidak pas tetapi paling tidak semangat restorative justice dalam teori keadilan yang saat ini menjadi hukum positif melalui Peraturan Jaksa Agung, kiranya menginspirasi semua pihak terkait untuk duduk sama sama mencari solusi penyelesaiannya bukan untuk balas dendam.

(PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PERADI).

KOMENTAR