Wagiyem Tergusur dari Kedungombo Jadi Pemulung di Jakarta
JAKARTA, INAKORAN
Tulisan ini untuk mengingatkan kembali pergulatan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) selama kurun satu setengah dekade melayani warga marjinal dan terpinggirkan, memasuki ulang tahunnya ke-15, pada 11 Agustus 2021. (sumber tulisan; Buku dengan Judul : Dari Pulau Tunda Sampai Bumi Khatulistiwa, Karya peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia-IKI)
Pada 1985, Bank Dunia tidak datang membawa duit bagi 5.268 keluarga di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Lembaga keuangan internasional ini mengucurkan dana 156 juta US dolar dari keseluruhan proyek berjumlah 283 juta US dolar. Duit tersebut digelontorkan demi terbangunnya sebuah waduk seluas 5.898 hektar.
Waduk Kedungombo merupakan salah satu waduk besar yang ada di Indonesia. Waduk Kedungombo terletak di perbatasan tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Grobogan, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Boyolali tepatnya di Kecamatan Geyer.
Wagiyem merupakan salah satu dari 30 ribu an orang yang kampung halaman nya ditenggelamkan untuk pembangunan waduk Kedungombo, Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah. pada era Presiden Soeharto.
Waduk Kedungombo, mulai digenangi air sejak 14 Januari 1989 dan menenggelamkan apapun di dalamnya, termasuk rumah tinggal dan tanah milik keluarga Wagiyem.
BACA: 15 Tahun IKI Berkarya dan, Semangat Perlindungan Hukum untuk Warga yang Terpinggirkan
Dua tahun kemudia atau tepatnya pada Sabtu pagi 18 Mei 1991, waduk Kedungombo diresmikan oleh Presiden Soeharto di desa Kedung Ombo, Grobogan, Jawa Tengah.
Sejak itulah keluarga Wagiyem terdampar di Metropolitan Jakarta, berprofesi sebagai pemulung, hidupnya layaknya kapal lepas jangkar.
Wagiyem tak hanya hilang tanah. Ia, di antara warga Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi, juga dicap PKI, oleh Presiden Soeharto.
Tidak hanya dipersukar secara hukum, citra PKI tak lupa dilekatkan kepada warga Kedungombo yang menolak penggusuran.
“Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya, dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu.
baca: Cegah Penyebaran Covid-19 Posko PPKM Mikro Cantigi Bagi Masker Gratis
Bahkan, Presiden Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Waduk Kedungombo mengatakan dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,” tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001: 280).
31 Tahun lamanya Wagiyem hidup sebagai Pemulung di Jakarta, tanpa KTP (1989-2020) dan Perjumpaan dengan IKI
KTP atau Kartu Tanda Penduduk adalah kartu tanda pengenal penduduk Indonesia. Dengan memiliki KTP setiap warga mempunyai peluang menikmati fasilitas yang disediakan negara.
Perjalanan hidup keluarga Wagiyem di Jakarta berubah keras dan hanya bermodalkan fisik. Dari kebiasaan menanam di kampung halaman Boyolali Jawa Tengah, di Jakarta, semua berubah.
Pada 1989, keluarga Wagiyem menjadi pemulung untuk mempertahankan hidup ditengah hiruk pikuk politik yang saat itu masih dalam genggaman rezim Orde Baru.
Wagiyem nyemplung diantara hutan beton nan kokoh di Metropolitan Jakarta, mengais sampah warga kota, mengumpulkan kardus bekas, besi berkarat dari ledeng rusak, ember cabik, ditimbang juragan lapak, lalu memberinya uang.
Lazimnya orang meninggalkan kampung halaman minimal berbekal kartu identitas diri (KTP) selain keterampilan, namun keluarga Wagiyem tidak memilikinya sama sekali.
Sesampai di Jakarta dan menekuni profesi sebagai pemulung tentu berpindah pindah tempat tinggal lalu akhirnya bertemu dengan peneliti Institut Kewarganegaan Indonesia (IKI).
Pada Agustus 2019, tempat terakhir bertemu dengan peneliti IKI adalah kolong jembatan Sungai Ciliwung daerah Pegangsaan Jakarta Pusat. Saat pertemuan dengan Peneliti IKI, Wagiyem masih belum mempunyai KTP maupun KK.
Kepada Peneliti IKI, Wagiyem menceritakan pengamalaman pahitnya ditolak oleh pejabat kelurahan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) yang menjadi haknya sebagai warga negara.
Dirinya sangat berharap bantuan dan fasilitasi IKI agar dirinya mendapatkan dokumen kewarganegaraan dan, Februari 2020 Wagiyem tercatat dalam kartu keluarga suami keduanya.
Ia juga mendapatkan akte kelahiran dan kartu tanda penduduk secara bersamaan atas bantuan dan fasilitasi yang dilakukan oleh Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI).
Sejak berdiri 15 tahun silam, Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) fokus pada pelayanan gratis kepada warga kurang mampu dan terpinggirkan di Kota Jakarta dan desa terpencil di berbagai kabupaten/kota tanpa infrastruktur yang memadai.
Pelayanan Keliling atau Yanling, untuk membuat dokumen kependudukan bagi warga marjinal, terpinggirkan, disabilitas, warga panti asuhan, orang terlantar dan warga desa terpencil, adalah bagian terpenting dari kegiatan IKI untuk mewujudkan kesetaraan hak bagi setiap penduduk Indonesia.
KOMENTAR