Webinar Perayaan Satu Tahun Indodian: Media, Antara Kualitas dan Kebutuhan Survival

Timoteus Duang

Wednesday, 11-05-2022 | 09:54 am

MDN

 

MAUMERE, INAKORAN

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun pertamanya, media daring Indodian.com menggelar webinar dengan tema, “Media: antara Idealisme dan Pragmatisme.” Webinar ini dilaksanakan pada Senin, (9/5/2022).

 

Indodian.com menghadirkan dua peneliti dan pakar di bidang media dan politik, yaitu Wijayanto dan Made Supriatma sebagai narasumber.

Wijayanto adalah Direktur Pusat Media dan Komunikasi pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Selama lima belas tahun terakhir, dosen Universitas Diponegoro ini memfokuskan dirinya pada penelitian tentang isu-isu jurnalisme dan demokrasi.

Made Supriatma adalah seorang peneliti tamu (visiting fellow) pada ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore. Made pernah mengerjakan penelitian tentang politik militer, konflik etnik, desentralisasi, dan politik elektoral.

Webinar ini dipandu oleh Maria Goreti Ana Kaka (Community Development Narasi TV) dan dibuka secara resmi oleh Rio Nanto, Pemimpin Redaksi Indodian.com.

 


Baca juga: Geger, Kisah Layangan Putus Versi ASN Jadi Trending Topik


 

Potret Praktik Jurnalisme di Indonesia

Dalam presentasinya, Wijayanto memaparkan hasil pembacaan atas praktik pemberitaan media-media (daring dan arus utama) di Indonesia. Beberapa kesimpulan berikut ditarik dari pemaparan itu.

Pertama, praktik jurnalisme di Indonesia masih terpengaruh oleh budaya jurnalisme yang lemah verifikasi, mengutamakan sensasi, mengejar klikbait, dan jatuh pada praktik talking journalism.

Kedua, oligarki media masih kuat. Beberapa media, termasuk media online arus utama, memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan. Hal ini menyebabkan fungsi kritik media-media itu melemah dan bahkan menjadikan pemerintah sebagai sumber berita dan kebenaran.

Ketiga, kombinasi oligarki media dan jurnalisme klikbait menyebabkan media-media di Indonesia dipenuhi bias dan tidak mengabdi pada kebenaran. Akibatnya, media tidak bisa mempersiapkan masyarakat saat menghadapi krisis.

 


Baca juga

Intip Penampilan Menawan Kim Kardashian Saat Kenakan Gaun Lawas Marilyn Monroe


 

Keempat, praktik pemberitaan media macam ini memperburuk situasi demokrasi di Indonesia yang (memang) tengah mangalami kemunduran karena gagal menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi.

Media dan Ranah Baru Arus Informasi

Made Supriatma menyoroti matinya media cetak dan transformasi ke media digital. Makna jurnalisme pun berubah seiring dengan senja kala media-media cetak.

Semua orang bisa menjadi jurnalis tanpa harus memiliki keahlian dan pemahaman mendalam tentang teknik-teknik dasar penulisan berita.

Saat ini terjadi banjir informasi di media-media digital. Informasi-informasi tersebut banyak yang tidak akurat karena kebanyakan diunggah tanpa terlebih dahulu diverifikasi.

Banjir informasi itu pun diperparah oleh fakta bahwa masyarakat punya kebebasan mutlak dan hampir tak terbatas dalam menginterpretasi berita dan peristiwa. Semua orang merasa berhak menentukan sendiri hal-hal apa yang bisa dikategorikan sebagai kebenaran.

 


Baca juga:

Hadiri Pelantikan, Presiden Baru Korea Selatan Berterima Kasih kepada Megawati saat Pidato Pertama


 

Menurut Made, masyarakat pembaca juga cenderung mempercayai apa yang ingin mereka percaya, mendengar apa yang ingin mereka dengar, dan hanya ingin melihat apa yang ingin mereka lihat. Inilah awal dari pemecahan sosial.

Masyarakat pembaca akan membagikan apa yang mereka percayai sebagai kebenaran dan menginginkan agar orang lain mempercayai apa yang mereka anggap benar itu. Orang yang memiliki pendapat lain secara otomatis akan disingkirkan.

Hal lain yang disorot Made adalah kebutuhan masyarakat pembaca yang dengan mudah dikontrol atau dikondisikan oleh algoritma mesin pencari.

Mesin pencari begitu gampang mengenali kebutuhan-kebutuhan kita (informasi, berita) sehingga pada waktu-waktu mendatang, mesin itu secara otomatis merekomendasikan “apa yang mungkin kita suka.”

Di permukaan, fakta ini memang terlihat memihak pada masyarakat pembaca karena dibantu untuk mendapatkan informasi dengan cepat.

 


Baca juga

Elite Demokrat Dipanggil KPK Terkait Kasus Korupsi


 

Akan tetapi, pada titik inilah para pembuat berita-berita bohong misalnya, bermain. Melalui rekomendasi-rekomendasi otomatis ini narasi-narasi kebohongan dan berita-berita yang berpotensi memecahbelakan, disebarluaskan kepada masyarakat.

Ketegangan antara jurnalisme berkualitas dan kebutuhan survival

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ketegangan antara kebutuhan akan jurnalisme berkualitas dan kebutuhan media untuk bertahan hidup.

Di satu sisi, masyarakat pembaca (terutama kaum idealis) membutuhkan jurnalisme berkualitas yang ditandai dengan pengarusutamaan kebenaran dan kedalaman ketimbang kecepatan.

Akan tetapi di sisi lain, media-media online yang saat ini menjamur, membutuhkan pemasukan (sebagian besar dari klik) agar dapat bertahan hidup.

Bagaimana menjembatani dua kebutuhan ini? Bagaimana ketegangan antara kedua kebutuhan ini didamaikan?

Baik Wijayanto maupun Made Supriatma menekankan pentingnya jurnalisme berkualitas dan manajemen bisnis yang baik dalam mendamaikan dua ketegangan ini.

Made mengajurkan agar manajemen media tetap mengusung jurnalisme berkualitas. Dia meyakini, jurnalisme berkualitas akan menarik khalayak pembaca untuk berlangganan dan dari sanalah keuntungan finansial dapat diraup.

 

 

KOMENTAR