Kisruh Tanah di Labuan Bajo: Siapa yang Dimaksudkan dengan Mafia Tanah?

Sifi Masdi

Friday, 25-04-2025 | 13:28 pm

MDN
Lokasi Pulau Kukusan Besar, Labuan Bajo,  Manggarai Barat, NTT  [inakoran]


 

 

Labuan Bajo, Inakoran

Kuasa Hukum dari Nyonya Entin Martini dan Muhammad Thasyrif Daeng,  yakni Benediktus Janur, S.H. mempertanyakan berita yang dirilis  Post Kota Nusa Tenggara Barat (Kamis, 24/4/2025) berjudul “Massa Geruduk BPN, Diduga Sekongkol dengan Mafia Tanah di Pulau Kukusan Besar”.

 

Pengacara yang akrab disapa Beny itu, mempertanyakan “Siapa yang dimaksud Mafia Tanah itu? “Apakah yang dimaksudkan Mafia Tanah di Pulau Kukusan Besar itu adalah orang yang membeli tanah di Pulau Kukusan Besar dari H. Maudu Djudje (Alm) yang tidak memiliki hak atas tanah di Pulau Kukusan Besar tersebut, dan kemudian menjual tanah tersebut kepada Warga Negara Asing (WNA) dengan menggunakan Nominee yang bertentangan dengan hukum Negara RI?” tegas  Benediktus Janur, dalam pernyataannya yang diterima Inakoran.com, Jumat (25/4/2025).

Pengacara Benediktus Janur, SH  [inakoran]

 

Menurut Benediktus Janur, kliennya, Nyonya Entin Martini dan putranya Muhammad Thasyrif Daeng, adalah pihak  yang mengajukan permohonan pendaftaran/sertifikat hak milik atas tanah di Pulau Kukusan Besar tersebut.

 

“Mereka mengajukan permohonan pendaftaran tanah/sertifikat ke Kantor BPN Manggarai Barat berdasarkan hak milik mereka atas tanah di Pulau Kukusan Besar tersebut. Itu tanah hak milik mereka yang merupakan tanah warisan,” ungkap Benediktus dalam pernyataannya.

 

Lebih lanjut dijelaskan advokat di Labuan Bajo ini, bahwa tanah di Pulau Kukusan Besar tersebut adalah tanah hak milik dari Ibu Sitti Nasijah Daeng Mawerra alias Daeng Ngintang alias Lolo Intang (Alm) sebagaimana dinyatakan dalam “Soerat Pengakoean Hak Milik Keboen/Poelaoe Koekoesan Kecil dan Koekoesan Besar, tertangal 27 Februari tahun 1957 yang dibuat dan ditandatangan oleh Sitti Hasijah Daeng Mawerra/Daeng Ngintang (sebagai Yang Berhak/Pemilik), Kepala Hamente Badjo, Sawedi, dan Kepala Hamente Nggorang, Ishaka, dan Surat Pemberian Hibah/Pelimpahan Hak Milik Tanah dari Daeng Ngintang kepada anaknya bernama Abu Soufyan Daeng Pabeta yang dibuat di hadapan dan ditandatangani oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manggarai, Frans Sales Lega, tertanggal 15 Mei 1975.

 

“Setelah Ibu Sitti Nasih Daeng Mawerra alias Daeng Ngintang alias Lolo Intang meninggal dunia, tanah di Kukusan Besar dan Kukusan Kecil menjadi hak milik dari Bapak Abu Soufyan Daeng Pabeta sebagai ahli waris dari Ibu Sitti Nasih Daeng Mawerra. Dan setelah Bapak Abu Soufyan Daeng Pabeta meninggal dunia, maka tanah di Kukusan Besar dan di Kukusan Kecil menjadi hak milik para Ahli Warisnya, yakni Ibu Entin Martini (Istri) dan Muhmmad Thasyrif Daeng (Anak),” jelas Benediktus.

 


BACA JUGA:

Masyarakat Desak Bupati Mabar Atasi Kisruh Persyaratan Perda  di  BPN Mabar

Tuntutan Perda BPN Mabar Dalam Proses Sertifikat Tanah, Tidak Masuk Akal

BPN Mabar Diduga Korupsi, 138 Warga Lapor ke Kapolres dan Kejaksaan Mabar

Sindikat Mafia Tanah di Labuan Bajo Kian Ganas, Dokumen yang Diduga Palsu Buat Dokumen Palsu Lagi

Pembuktian Sidik Jari Diduga akan Menjerat HA dan BT Terkena Laporan Palsu


 

Sedangkan, kata Benediktus,  H. Maudu Djudje (Alm) tidak mempunyai hak milik atas tanah Pulau Kukusan Besar. Dia hanya diberikan ijin untuk melepaskan/memelihara 13 (tiga belas) ekor kambing yang terdiri dari 4 (empat) ekor kambing jantan dan 9 (sembilan) ekor kambing betina sesuai dengan permintaan H. Maudu Djudje (Alm) kepada Ponggawa Bajo Sahabudin sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keterangan tertanggal 20-70-1965. Kemudian pada tanggal 11 Februari tahun 1993 Bapak Abu Soufyan Daeng Pabeta pernah memberikan Surat Teguran kepada H. Maudu Djudje (Alm) untuk menangkap dan memindahkan kambing-kambing miliknya dari tanah di Pulau Kukusan Besar, tetapi H. Maudu Djudje (Alm) tidak menghiraukan Surat Teguran tersebut.

 

“Pada tanggal 15 Maret 2021, kami selaku Kuasa Hukum dari Klien kami, memberikan Surat Teguran/Somasi kepada Hj. Fatimah sebagai istri (ahli waris) dari H. Maudu Djudje (Alm) yang telah menggelapkan dan merampas tanah hak milik Klien kami di Pulau Kukusan Besar tersebut,” tambah  Benediktus.

 

Benediktus menambahkan bahwa mestinya saudara I Gusti Putu Ekadana mengetahui bahwa tanah di Kukusan Besar tersebut adalah milik dari Abu Soufyan Daeng Pabeta. “Karena menurut keterangan Klien kami, sekitar tahun 2003, Saudara I Gusti Putu Ekada datang ke rumah Klien kami di Jakarta dan bertemu dengan Abu Soufyan Daeng Pabeta (Alm) dan Klien kami Entin Martini untuk maksud membeli tanah di Kukusan Besar tersebut,” tegasnya.

 

“Tanah di Pulau Kukusan Besar yang menjadi hak milik Klien kami itulah yang diajukan permohonan pendaftaran tanah/sertifikat hak milik ke Kantor BPN Manggarai Barat oleh Klien kami dengan alas hak yang terang dan jelas,” tegasnya menambahkan.

 

Diungkapkannya pula,  atas permohonan pendaftaran tanah/sertifikat hak milik dari Kliennya tersebut, saudara I Gusti Putu Ekadana mengajukan sanggahan dengan dasar telah membeli tanah tersebut dari H. Maudu Djudje (Alm). Atas sanggahan dari Saudara I Gusti Putu Ekadana telah 3 (tiga) kali dilakukan mediasi di Kantor BPN Manggarai Barat. Dari 3 (tiga) kali mediasi tersebut, hanya 1 (satu) kali Saudara I Gusti Putu Ekadana hadir dalam mediasi tersebut. Karena mediasi gagal, sesuai ketentuan hukum Kantor BPN Manggarai Barat memberikan kesempatan dalam kepada saudara I Gusti Putu Ekadana selaku pihak penyanggah untuk dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari itu saudara I Gusti Putu Ekadana tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo.

 

“Sesuai hukum, Kantor BPN Labuan Bajo harus lanjutkan proses pendaftaran tanah yang diajukan Klien kami. Kantor BPN sudah bertindak benar sesuai hukum. Lalu siapa yang disebut mafia tanah?” kata Benediktus.

 

Kemudian terkait dengan soal tudingan mafia tanah, Benediktus menjelaskan bahwa  mafia tanah itu adalah orang  yang merampas tanah hak milik orang lain, membeli tanah hasil rampasan dari orang lain yang berhak atas tanah, bertindak tidak sesuai hukum, misalnya menjual tanah ke Warga Negara Asing (WNA) dengan menggunakan Nominee. “Praktik mafia seperti inilah yang harus diberantas di Labuan Bajo,” pungkasnya.


 

 


 

 

KOMENTAR