Tuntutan Perda BPN Mabar Dalam Proses Sertifikat Tanah, Tidak Masuk Akal

Labuan Bajo, Inakoran
Kebijakan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat (Mabar) yang menuntut perlunya Peraturan Daerah (Perda) sebagai persyaratan pembuatan sertifikat tanah di wilayah Nerot dan Bale, Labuan Bajo, Mabar, NTT, dianggap tidak masuk akal. Karena tuntutan tersebut dinilai berbahaya dan bisa memicu gelombang protes yang berujung pada konflik.
“Saya tidak mengerti, sudah banyak sertifikat yang sudah terbit di wilayah ini tanpa tunggu Perda,” kata Alfon Dambut, seorang warga yang pengajuan sertifikat tanahnya ditolak BPN.
Menanggapi masalah tersebut, Beny Janur, pengacara muda yang tinggal di Labuan Bajo, mengatakan bahwa semua tanah di wilayah Nerot dan Bale, sudah menjadi milik perorangan, tidak ada lagi milik komunal.
Menurut Beny, jika tuntutan BPN Mabar ini dilaksanakan, maka konsekuensinya adalah semua sertifikat di wilayah itu dibekukan. Selain itu warga juga bisa menuntut balik BPN untuk menghentikan proses sertifikat tanah di Mabar karena tanah milik warga asal usulnya adalah tanah komunal.
BACA JUGA:
BPN Mabar Diduga Korupsi, 138 Warga Lapor ke Kapolres dan Kejaksaan Mabar
Sindikat Mafia Tanah di Labuan Bajo Kian Ganas, Dokumen yang Diduga Palsu Buat Dokumen Palsu Lagi
Pembuktian Sidik Jari Diduga akan Menjerat HA dan BT Terkena Laporan Palsu
Diduga Cemarkan Nama Baik, HA dan BT Dipolisikan Balik Oleh Tua Adat Terlaing
Seperti diketahui pada tanggal 17 April 2025 minggu lalu, terjadi pertemuan antara Kejari yang diwakili Bapak Sarta, SH dan stafnya dengan tiga orang perwakilan warga yaitu Alfon Dambut, Yosep Yakop dan Berto. Dalam pertemuan tersebut perwakilan warga mempertanyakan Perda sebagai syarat untuk menerbitkan sertifikat tanah.
Menurut Alfon, yang mewakili sekitar 138 orang warga, saat pihak Kejari membicarakan soal Perda sebagai syarat penerbitan sertifikat, warga langsung memberikan tanggapan bahwa tanah yang mereka ajukan adalah milik pribadi. Lagi pula selama ini sudah banyak sertifikat yang sudah diterbitkan di kawasan tersebut tanpa Perda.
Desak Bupati Turun Tangan
Dalam rangka untuk mengatasi kemelut tersebut, masyarakat mendesak Bupati Manggarai Barat untuk segera turun tangan. “Jika ini dibiarkan, pembangunan di Mabar terganggu,” tegas Alfon.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, empat orang yang mewakili 138 warga sudah melaporkan BPN Manggarai Barat ke polisi dan kejaksaan terkait dugaan korupsi.
Dugaan korupsi itu mengacu pada peristiwa pada tahun 2019. Pada saat itu sebanyak 143 warga mengajukan penerbitan sertifikat ke BPN. Setelah semua dokumen lengkap, pendaftaran mulai dilakukan dan masyarakat diwajibkan untuk menyetor uang pendaftaran sekitar Rp 100 juta lebih.
Namun di luar dugaan, saat itu BPN hanya bisa menerbitkan 5 sertifikat saja, sementara yang lain tidak terbit. Alasan BPN karena ada sanggahan dari Edu Gunung sekeluarga dan Bonafantura Abunawan.
Warga pun kecewa dengan kebijakan BPN dan tidak mengerti dengan alasan tersebut. Mereka pun mengajukan surat kepada BPN hingga berkali-kali. Namun hingga saat ini tidak ada respon dari BPN. Bahkan sebaliknya BPN justru meminta warga untuk menempuh jalan hukum kepada pihak yang menyanggah.
“Atas arahan BPN, kami sudah tempuh jalur hukum dan sudah ada keputusan Mahkamah Agung, hingga saudara Bona Abunawan di penjara. Setelah ada keputusan MA, kami kembali surat BPN untuk melanjutkan proses penerbitan, tetapi lagi-lagi tidak ada respon dari BPN,” jelas pernyataan warga yang disampaikan kepada Inakoran.com minggu lalu.
Mereka menambahkan bahwa warga sudah putus asa dengan permainan BPN, namun mereka berusaha untuk menahan diri agar tidak muncul konflik fisik dengan BPN. Mereka tetap menempuh jalur hukum dengan mengajukan aduan terkait dugaan korupsi BPN kepada Kapolres Manggarai Barat.
Dalam surat yang ditujukan kepada Kapolres Mabar, mereka mempertanyakan kinerja BPN Manggarai sebagai berikut:
Pertama, kami mempertanyakan penggunaan uang kami yang sudah disetorkan 5 tahun lalu. Kami menduga uang itu sudah dimanipulasi atau dikorupsi.
Kedua, di lokasi yang kami ajukan sudah banyak terbit sertifikat dan kebanyakan orang luar
Ketiga, tanah yang kami ajukan sudah milik pribadi. Untuk alas hak dibuat berdasarkan dokumen di wilayah itu.
Keempat, sudah lima tahun proses ini terlunta-lunta dan pihak BPN tidak pernah melakukan mediasi.
Kelima, Bupati Manggarai Barat sudah menyampaikan surat resmi ke BPN bahwa tanah yang kami ajukan, asal muasal dari wilayah adat Terlaing. Ketika ada sanggahan maka proses pengadilan dilakukan hingga MA.
Keenam, tuntutan BPN perlu adanya Perda sebagai syarat untuk penerbitan sertifikat tidak masuk akal. Jika tuntutan tersebut diterima, maka proses sertikat tanah di wilayah Manggarai Barat dibekukan karena sebagian besar tanah yang dimiliki perorangan berasal dari tanah Ulayat.
Ketujuh, meminta Bapak Kapolres untuk mengatasi kemelut ini demi keadilan dan menjaga suasana kondusif di Labuan Bajo.

KOMENTAR