Ma’ruf Amin dan Fatwa MUI Haramkan Golput

Sifi Masdi

Friday, 29-03-2019 | 12:25 pm

MDN
Cawapres Ma’ruf Amin [ist]

Jakarta, Inako

Munculnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Golput (golongan putih) pada Pemilu mengundang pro dan kontra terutama bila dikaitkan dengan keberadaan Ketua MUI Non-aktif Ma’ruf  Amin yang saat ini ikut berlaga sebagai Cawapres 01 pada Pilpres 2019.

Sejauh mana pengaruh Ma’ruf Amin terhadap fatwa tersebut? Pertanyaan ini langsung ditanggapi Ketua MUI bidang bidang Fatwa Prof Huzaemah T Yanggo. Ia menegaskan lembaganya tak pernah mengharamkan golput (golongan putih). Fatwa yang dibuat pada 2009 berisi tentang kewajiban bagi umat Islam, masyarakat Indonesia, untuk memilih pemimpin.

"Bahasa golput itu sama sekali tidak ada dalam fatwa," kata Huzaemah.

Fenomena golput, untuk menyebut warga yang enggan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, sebetulnya sudah muncul sejak awal Orde Baru pada 1971. Jumlahnya tak pernah surut, meski juga tak bertambah secara signifikan. Fenomena ini pun biasanya cuma ramai diperbincangkan setiap kali memasuki masa pemilu.

Tapi kenapa baru pada 2009 MUI sampai membuat fatwa? Kenapa pula 10 tahun kemudian fatwa tersebut kembali hangat diperbincangkan dan menjadi polemik? Apakah karena KH Ma'ruf Amin, yang nonaktif sebagai Ketua Umum MUI, kini menjadi calon wakil presiden?

Perempuan Indonesia pertama yang meraih titel doktor dari Al-Azhar, Mesir, itu kembali menegaskan bahwa MUI tak pernah membuat fatwa berdasarkan pesanan atau tekanan. Fatwa-fatwa yang dibuat umumnya berdasarkan permintaan dari masyarakat.

"Kenapa baru dibuat fatwa soal golput pada 2009, ya karena baru saat itu ada permintaan dari masyarakat," ujar Huzaemah, yang telah lebih dari 30 tahun terlibat di Komisi Fatwa MUI. Kalaupun soal fatwa golput ini sekarang kembali diperbincangkan.

"Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketua umum kami, Bapak Ma'ruf Amin yang menjadi cawapres," tegasnya.

Dalam fatwa dan rekomendasi, ia melanjutkan, MUI tidak menyebut nama calon yang layak dipilih kecuali hanya menyebutkan kriteria calon pemimpin. Perkara kemudian apakah masyarakat mengikuti atau tidak fatwa tersebut, MUI tak mempersoalkannya.

"Sebagai organisasi para ulama, MUI wajib mengeluarkan fatwa. Setelah fatwa diterbitkan, diserahkan ke masyarakat apakah akan mengikuti atau tidak," ujar Huzaemah, yang juga Rektor Institut Ilmu Al-Quran Jakarta.

 

 

KOMENTAR