Menyelamatkan Nasib PPP di Pemilu 2024

Jakarta, Inakoran.com
(Oleh: H. Adlan Daie-Pemerhati politik dan staf pengajar di Pesantren Al Mukminien Indramayu, Jawa Barat)
Insiasi Nyai Hj. Mundjidah, puteri KH. Wahab Hasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjabat sebagai bupati Jombang sekaligus ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jawa Timur agar PPP kembali menggunakan lambang "Ka'bah" lama tanpa tambahan warna "merah putih" adalah cara cerdas dan tepat dalam ikhtiar penyelamatan PPP untuk menghadapi kontestasi pemilu 2024.
Baca juga: Prof Yusril dan Sistem Proporsional Tertutup
PPP tidak perlu mengaburkan kekuatan "identitas politiknya" sekadar hendak menegaskan kecintaannya pada NKRI dengan menambah-nambah warna "merah putih" dalam lambang "Ka"bah". Keislaman dan kebangsaan adalah "satu tarilkan" nafas perjuangan PPP sejak awal didirikan tahun 1973. Ibarat dua keping logam dalam. Satu mata uang, tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Itulah sejatinya kekuatan "identitas politik" PPP yang nyaris hilang dalam pemilu 2019 sehingga hampir mengakhiri kiprah politik PPP dalam sejarah perjalanan politiknya sejak menjadi peserta pemilu tahun 1977. Hasil pemilu 2019 merupakan yang paling "terpuruk" bagi PPP dalam lima kali pemilu di era reformasi dan PPP bahkan nyaris "terlempar" dari "kursi senayan," perolehan suaranya nyaris di bawah ambang batas parlemen (4%).
Tak terbayangkan bagaimana nasib PPP kelak dalam kontestasi pemilu 2024 tanpa branding kekuatan "identitas politiknya." Berdasarkan hasil survey opini sejumlah lembaga sakhir tahun 2022 tentang elektoral 18 partai politik peserta pemilu 2024, angka elektoral PPP berada di kisaran 2 - 3%, masih di bawah ambang batas parlemen yang sebesar 4%.
Dalam buku biografi KH. Bisri Sansyuri berjudul "Tegas Berfiiqih, Lentur Bersikap" dilukiskan betapa berat perjuangan KH Bisri Sansuri, kakek Gusdur dari "trah" ibu, Pendiri pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang. Teguh dalam mempertahankan gambar "Ka'bah" sebagai lambang politik PPP. Gusdur menggambarkan kakeknya ini "lurus, ketat dan serba fiqih."
Berkali-kali Jenderal Amir Mahmud, Menteri Dalam Negeri sekaligus ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Laksamana Sudomo, Pangkobkamtib - waktu itu melobi dan "menekan" KH. Bisri Sansyuri, Rois 'Am PBNU melalui berbagai cara untuk merubah lambang Ka'bah dengan gambar "bintang" seperti terdapat dalam salah satu gambar di lambang garuda Pancasila.
"Sudah, nggak usah ada PPP saja. Kalau tidak memakai simbol ka'bah. Tidak usah ada partai," ujar KH. Bisri Sansyuri dikutip dari buku biografi di atas. KH. Bisri Sansyuri berdalild bahwa lambang ka'bah merupakan kiblat persatuan umat islam, representasi politik dari fusi partai NU, Perti, Parmusi, dan PSII. Rezim Orde Baru yang begitu kuat pun akhirnya "luluh" juga atas keteguhan sikap batin KH. Bisri Sansyury tentang lambang ka'bah PPP.
Baca juga: Partai Golkar Indramayu dan Pemilu 2024
Konstruksi di atas mengirim pesan historis betapa penting usulan Nyai Hj. Mundjidah yang hendak mengembalikan PPP ke lambang ka'bah lama dalam ikhtiar penyelamatan PPP menuju pemilu 2024. Bukan sekadar romantisme masa lalu, lebih dari itu, mengutip Dr. Affan Gafar, salah satu perancang Undang Undang politik 1999 yang menjelaskan bahwa kekuatan PPP dalam pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi adalah "identitas politik" keislamannya.
Dalam pemilu 1999, di tengah menjamurnya kehadiran partai-partai berbasis ormas dan massa Islam, PPP tetap "eksis" di tiga besar setelah PDIP dan partai Golkar. PPP tetap mampu menjadi partai Islam terbesar di parlemen (59 kursi) meskipun dijepit oleh PKB (51 kursi), PAN (35 kursi), PBB (13 kursi) dan partai partai Islam "medioker" lainnya.
Poinnya, dalam konteks penyelamatan PPP sebagai aset politik umat Islam dalam pemilu 2024-selain menghindari konflik internal, tidak terpapar perilaku korupsi- hal terpenting adalah penegasan "identitas politik" Islam PPP di ruang publik bahwa PPP hadir sebagai representasi politik dari keragaman ormas-ormas Islam di Indonesia.
Peneguhan kembali "identitas politik" PPP tentu berbeda dengan "politik identitas" yang akhir-akhir ini dikampanyekan untuk dijauhkan dari ruang narasi publik. "Identitas politik" Islam PPP adalah warna kekhususan politik PPP sejak berdirinya, sementara "politik identitas" adalah gerakan politik memainkan agama, ras dan suku untuk menyerang kelompok lainnya.
Cara di atas itulah yang paling potensial mampu menyelamatkan nasib PPP dalam kontestasi pemilu 2024. Di luar cara itu "wallahu a'lamu bis shawab."
Wassalam.
TAG#PPP, #Pemilu, #Identitas
198733656
KOMENTAR