Pentingnya Peran Orang Tua dalam Menekan Tingginya Angka Pernikahan Anak

Saverianus S. Suhardi

Monday, 31-07-2023 | 19:04 pm

MDN
Perwakilan Kementerian Hukum dan HAM Wahyudi Putra (kiri), Kepala Unit PPA Bareskrim Polri AKBP Ema Rahmawati (tengah), dan Pegiat perempuan dan HAM Caroline Jasintha Monteiro (kanan-moderator) [Foto: Inakoran]

 

<

 

Jakarta, Inakoran.com

Perkawinan anak masih menjadi momok bagi Indonesia. Angkanya masih tinggi sehingga membutuhkan keterlibatan dari semua pihak, terutama orang tua dan pemerintah dalam upaya pencegahannya.


BACA JUGA: Menko Muhadjir Sidak Zonasi PPDB ke SMA Negeri 5 Tangsel


 

Persoalannya, orang tua juga bisa menjadi faktor yang membuat seorang anak menikah sekalipun belum cukup umur atau jika merujuk pada  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak yang bersangkutan belum berusia 19 tahun. 

Hal itu disampaikan oleh Rohika Kurniadi, Asisten Deputi PHA atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam diskusi publik yang berjudul harmonisasi dan optimalisasi kebijakan pencegahan perkawinan anak di Indonesia.

Dia menyebut, sekalipun pernikahan anak sudah diatur dalam Undang-undang, tantangannya cukup kompelks, salah satunya soal mindset orang tua.

Orang tua menggap, jika anaknya dinikahkan, persoalan ekonomi, dan lain sebagainya bisa teratasi. Pernikahan dinilai sebagai solusi dalam menyelesaikan persoalan dalam rumah tangga.

"Apa yang menjadi kekuasaan dari orang tentu karena mereka memiliki kuasa asuh. Sekali lagi mengingatkan, anak bukan hak milik ornag tua," tegas Rohika dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di The Acacia Hotel & Resort, Senen, Jakarta Pusat pada Senin 31 Juli 2023 itu.  

Koalisi Perempuan Indonesia mengadakan diskusi terkait perkawinan anak.

 

Senada dengan Rohika, AKBP Ema Rahmawati, Kepala Unit PPA Bareskrim Polri menjelaskan peran orang tua dalam pernikahan anak, apalagi yang masih di bawah umur sangat penting.

Orang tua harus memikirkan dampak jika anaknya menikah belum cukup umur, termasuk dampak psikologis dan ekonomi.

Misalnya, ketika anaknya yang belum cukup umur ingin menikah, orang tua harus memberikan pemahaman kepada anaknya tentang hidup berumah tangga.

Bahwasannya hidup berumah tangga itu tidak seperti pacaran. Ada hal yang diutamakan, yakni tanggung jawab.

“Jangan cuman karena mengikuti keinginan anak nikah muda, misalnya, oh ya udah enggak apa-apa, kan kesehariannya biar ditanggung oleh orang tuanya. Kan tidak seperti itu juga. Tapi ini berbicara rumah tangga, bukan hanya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi bagaimana secara psikis dan mentalnya udah siap apa belum,” jelas Ema.


BACA JUGA: Menko Airlangga Mampu Jawab Semua Pertanyaan dalam Pemeriksaan oleh Kejagung


 

Wahyudi Putra, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, menyebut angka pernikahan anak memang  semakin meningkat saat pandemi Covid-19.

“Tapi justru pada saat pandemi covid-19 angka prevalensi itu kemudian mengalami kenaikan kembali. Nah sebenarnya apa yang salah dari sisi penerapan hukumnya, kemudian pelaksanaan hukumnya serta budaya masyarakat,” jelas Yudi.

Yudi lebih berfokus pada peran dari setiap lembaga yang terkait. Sebelum memberikan dispensasi perkawinan di bawah umur, perlu memperhatikan banyak aspek.

“Ya sebenarnya bisa mem-filter,  bagaimana sebenarnya proses pengajuan itu dilakukan, apakah memang anak itu dianggap layak untuk bisa mengajukan perkawinan atau tidak,” jelas Yudi.

Menurut dia, jika memang pernikahan itu belum bisa dilakukan karena alasan psikologis dan ekonomi, maka tidak perlu dilanjutkan. Di sini, peran orang tua sangat penting. Karena pihak yang bisa mengajukan dispensasi hanya orang tua. 

Yudi menambahkan, perkawinan anak hanya akan memunculkan berbagai persoalan, seperti keterpurukan ekonomi, kekerasan seksual, perceraian, hingga penelantaran anak.

Selain pentingnya peran orang tua, diperlukan sinergitas antar lembaga terkait. Setiap stake holder juga perlu melakukan sosialisasi terkait pernikahan anak.  

Misalnya, dalam UU TPKS Pasal 10 disebutkan bahwa pemaksaan perkawinan bisa dipidana dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun dan denda Rp200 juta.  

Aturan ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebagai langkah preventif dan memberikan efek jera.

 

KOMENTAR