Pilkada 2024 dan Jalan Sesat Birokrasi

Oleh: H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]
JAKARTA, INAKORAN.com - Pilkada 2024 yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2016 dan dikuatkan berkali kali dalam putusan MK akan dilaksanakan "serentak nasional" pada tanggal 27 November 2024 potensial menggiring birokrasi ke "jalan sesat".
Dengan kata lain birokrasi potensial ditarik keluar tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) sebagai pelayan publik menjadi instrument elektoral bagi gubernur "wa bil khusus" bupati dan walikota "incumbent" di sejumlah daerah di Indonesia.
Pelibatan birokasi dan anggaran publik yang "disiasati" untuk kepentingan elektoral penguasa di negara negara matang secara demokrasi dan "netral agama" disebut "Pork Barrel Politics", yakni politik "gentong babi", najis, jijik dan "muak".
Ada dua faktor minimal kenapa birokrasi rentan di tarik ke "jalan sesat", yakni bekerja di luar tupoksinya dan secara politik menjadi bagian "inti" dari perilaku politik "gentong babi", yaitu:
Pertama, birokrasi dalam sejarahnya menurut sejarawan Ongkhoan dalam bukunya "Runtuhnya Hindia Belanda" adalah pegawai pemerintah dengan watak "pangreh praja" dan berkultur kasta "priyayi"dalam spirit kerja melayani sang "raja".
Birokrasi saat ini hanya modern dari sisi struktur tapi secara kultur acapkali primitif, menjadi pelayan elektoral sang penguasa politik dengan deal deal misalnya promosi jabatan di luar standart sistem "meritokrasi", jenjang profesionalisme dan prestasi kerja atau deal lain.
Kedua, dalam perspektif imam Al Ghazali penyesatan birokrasi di atas karena lemahnya peran "ulama" mengingatkan penguasa.
Ulama di sini dalam pengertian "kelas menengah" teori Harry Julian Benda mencakup pemuka agama, intelektual, aktivis kampus, dan kaum akademisi.
Baca juga: Dapat Keuntungan Rp48 Juta, Ini Peran Guru Besar Universitas Jambi dalam Kasus Ferienjob di Jerman
Dalam konteks itulah imam Al Ghazali menjelaskan relasi "kerusakan" rakyat karena rusaknya mental rakus penguasa dan mental penguasa "rusak" karena ulama "rusak", tumpul sikap kritisnya pada penguasa.
Musababnya tak lain ulama tersandra kilau jabatan dan kegilaan bendawi.
Adalah tugas para "ulama" dalam pengertian tersebut diatas untuk mencegah "sesat jalan birokrasi di atas.
Ini sebuah "kemaksiatan politik" terstruktur dan sistemik. Inilah politik "gentong babi" yang sesungguhnya, najis, jijik dan muak.
Baca juga: Soroti Kasus Rp271 Triliun Harvey Moeis, Mahfud: Politik Agak Meredah, Korupsi Mulai Tampak Lagi
Pemimpin siapa pun kelak terpilih dalam kontestasi pilkada dengan keculasan politik "gentong babi" bukan saja merusak harkat dan martabat pribadi dan jabatan mereka lebih dari itu daya rusaknya mengalir sampai jauh, ibarat "air comberan" mengalir ke pipa pipa ruang kehidupan rakyat.
Apakah politik kotor yang di negara negara "barat" dan "netral agama" dikecam sebagai politik "gentong babi" najis dan jijik akan dibiarkan begitu saja di negara "berketuhanan yang maha esa"? "Sungguh terlalu" kata Bang Haji Rhoma Irama .Wassalam.
TAG#politik gentong babi, #Adlan Daie, #Pemilu 2024, #Pilpres 2024
198733256
KOMENTAR