Prof Yusril dan Sistem Proporsional Tertutup

Saverianus S. Suhardi

Tuesday, 17-01-2023 | 19:42 pm

MDN
[H. Adlan Daie-Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

 

Jakarta, Inakoran.com
(Oleh: H. Adlan Daie-Pemerhati politik dan sosial keagamaan)


Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara  dengan "jam terbang" tinggi melakukan gugatan "uji materi"  ke Mahkamah Konsitusi (MK) untuk mengembalikan sistem pemilu ke proporsional "tertutup" setelah sebelumnya delapan fraksi DPR RI -minus PDIP-  dalam konferensi bersama justru menolak sistem "proporsional tertutup", tetap menghendaki "terbuka" sebagaimana berlaku dalam tiga kali pemilu terakhir.


Baca juga: Partai Golkar Indramayu dan Pemilu 2024


 

Menurut Alfiansyah, sekjend DPP Partai Bulan Bintang (PBB) gugatan "uji materi"  tersebut dilakukan Prof Yusril dalam  "legal standing" sebagai ketua umum PBB. Prof Yusril menurutnya telah berkoordinasi dengan PDIP,  satu satu nya partai berbasis kursi parlemen pro sistem "proporsional tertutup". Ini "menambah" daftar "uji materi" ke MK  pasca gugatan sejumlah warga negara yang tengah berproses di persidangan di MK.

Tampaknya akan semakin lama dan semakin sulit menduga bagaimana kelak putusan MK memutuskan gugatan "uji materi" di atas. Dalam sejarahnya MK seringkali mengeluarkan putusan putusan yang "mengejutkan" menurut logika umum pada fase fase akhir jelang pelaksanaan pemilu  misalnya:

Pertama, tahun 2008 saat daftar caleg  telah "resmi" ditetapkan KPU RI dan KPUD sesuai tingkat kewenangannya jelang pemilu 2009 MK memutuskan "frase perolehan suara 30% caleg dihapus sebagai syarat caleg terpilih menjadi murni "suara terbanyak"  dalam penentuan caleg terpilih bagi partai yang meraih kursi di satu daerah pemilihan (Dapil).  Keputusan MK ini berkonsekuensi tidak sederhana di internal partai.


Baca juga: Soal Penangkapan Lukas Enembe, Ketua KPK: Masyarakat Papua Dukung Penuh


 

 

Kedua, menjelang kontestasi pilkada serentak tahun 2015 MK memutuskan anggota DPR RI /DPRD "wajib mundur" dari jabatannya saat ditetapkan menjadi calon kepala/wakil kepala daerah. Sementara kepala/wakil kepala daerah yang berpotensi besar melakukan "abuse off power", penyalahgunaan wewenang justru tidak wajjb mundur saat mencalonkan kembali kecuali cukup cuti masa kampanye.

Dalam pemahaman "awam" penulis tentang "politik hukum" pilihan proporsional "terbuka" dan "tertutup" sepenuhnya domain pembentuk undang undang, yaitu kesepakatan DPR RI dan pemerintah, tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 terkait pemilu. MK tidak berwenang menetapkan "terbuka" atau "tertutup" kecuali menguji konstitusionalitas undang undang terhafap UUD 1945.

Namun saat Prof Yuzril Ihza mahendra sebagai pakar hukum tata negara dengan pengalaman "jam terbang " tinggi mengajukan gugatan "uji materi" tentang hal tersebut tentu memiliki basis argument di luar nalar hukum penulis untuk mencernanya. Ini menambah daftar "ketidak pastian" dan sangat berpengaruh bagi partai partai peserta pemilu 2024 dalam mengkonstruksi strategi pemenangan dalam kontestasi pemilu 2024.

Dalam konteks ini jalan terbaik  tampaknya mengikuti "fatwa politik" ketua KPU RI, Hasyim  Asy'ary agar para caleg tidak terburu buru memasang alat peraga caleg di baliho spanduk dan lain lain menunggu putusan MK terkait sistem permilu yang bersifat final dan mengikat. 

Wassalam.

 

TAG#Politik, #Golkar, #Yusril, #KPU, #Pemilu

190232845

KOMENTAR