Anggota BRICS Belum Sepakat Soal Buang Dolar AS
Jakarta, Inakoran
Pertemuan puncak BRICS yang berlangsung di Kazan, Rusia, pekan ini, menyoroti persatuan negara-negara berkembang dalam upaya membangun blok ekonomi yang mampu menandingi dominasi Barat. Meskipun begitu, terdapat perbedaan pandangan di antara anggota terkait langkah meninggalkan dolar AS atau proses dedolarisasi. Perbedaan ini dipicu oleh kepentingan geopolitik masing-masing negara serta ambisi BRICS yang makin berkembang seiring dengan perluasan keanggotaan.
Pada akhir KTT yang digelar Kamis lalu, lima anggota awal BRICS — Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan — resmi menyambut anggota baru, yaitu Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab (UEA), sebagai anggota penuh. Langkah ini meningkatkan kekuatan kolektif BRICS di panggung ekonomi global.
Selain itu, BRICS juga mengundang 13 negara lain sebagai "negara mitra," memperluas pengaruh blok ini dan memperkuat posisinya sebagai alternatif ekonomi bagi negara-negara berkembang.
Namun, dengan bertambahnya anggota, perbedaan pandangan semakin terlihat, terutama terkait kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Dedolarisasi yang diusulkan ini bertujuan untuk mengurangi dominasi ekonomi dan politik AS, namun belum ada konsensus di antara negara anggota mengenai pendekatan yang akan diambil.
Sarang Shidore, Direktur Program Global South di Quincy Institute, Washington, mengatakan bahwa anggota BRICS masih terpecah dalam menentukan langkah selanjutnya. Rusia, misalnya, dianggap lebih agresif dalam mendorong penggunaan sistem keuangan alternatif yang meninggalkan dolar AS. Ini dapat dimengerti, mengingat Rusia berada di bawah tekanan sanksi ekonomi Barat yang semakin mengisolasi ekonomi mereka. Bagi Rusia, langkah cepat untuk menciptakan sistem pembayaran non-dolar dapat menjadi solusi untuk menghindari pengaruh AS.
Di sisi lain, negara-negara lain dalam BRICS lebih cenderung mengambil pendekatan yang moderat dan berhati-hati. India dan Brasil, misalnya, lebih memilih pendekatan bertahap dengan menggunakan mata uang lokal untuk perdagangan bilateral sebelum sepenuhnya meninggalkan dolar. Sikap hati-hati ini didorong oleh kekhawatiran akan ketidakstabilan ekonomi dan risiko yang mungkin muncul jika langkah dedolarisasi dilakukan secara mendadak.
Di tengah perbedaan pandangan mengenai dedolarisasi, BRICS tetap menyuarakan keinginan agar lembaga-lembaga global, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, menjadi lebih inklusif dan representatif. Shidore menjelaskan bahwa secara keseluruhan, negara-negara BRICS ingin mengubah struktur global yang ada agar lebih terbuka dan efektif bagi negara-negara berkembang. Ini sejalan dengan visi BRICS untuk menghadirkan sistem ekonomi global yang lebih adil dan tidak didominasi oleh negara-negara Barat.
"Rusia mungkin negara yang lebih radikal, tetapi secara luas kelompok BRICS ingin lembaga-lembaga global yang ada menjadi lebih terbuka, lebih representatif, lebih efektif, dan itulah pesannya," ujar Shidore.
TAG#BRISC, #Dolar AS, #Mata Uang BRICS, #Amerika Serikat, #Mata Uang Internasional, #Brasil, #Rusia, #China, #India, #Afrika Selatan, #Mitra, #KTT Kazan
182194760
KOMENTAR