Barcelona, Sepak Bola Indah dan Madrid yang Berhasil Melawan Dirinya Sendiri

Binsar

Monday, 26-10-2020 | 18:04 pm

MDN
Para pemain Madrid merayakan gol ke gawang Barcelona dalam laga El Clasico, Sabtu (24/10) [ist]

 

 

Oleh: Tommy Duang

 

El Clasico jilid pertama musim ini telah usai dan Madrid membawa pulang tiga angka dari Camp Nou. Laga itu berlangsung panas, indah, dan menarik.  Bermain dengan penuh totalitas dan seakan tanpa beban, Madrid dan Barcelona memberi kita lebih dari sekadar sepak bola. Mereka menyajikan ruang imajinasi dan jagat raya petualangan.

Dalam waktu kurang dari sepuluh menit sudah tercipta dua gol melalui aksi dua pemain muda: Fede Valverde (Real Madrid) dan Ansu Fati (Barcelona). Menit-menit setelahnya kedua tim memanjakan mata penggila bola dunia melalui keahlian olah bola mereka yang melayang jauh di atas rata-rata. Pada menit ke-63 Ramos menciptakan jarak dan di ujung laga, Luka Modric memastikan kemenangan bagi Madrid.

Barcelona adalah klub bola hebat yang menghayati sepak bola dengan segenap jiwa dan seluruh badan. Bagi Barcelona, sepak bola bukan hanya sekadar memindahkan bola dari kaki ke kaki sebelum menjaringkannya ke gawang lawan. Lebih dari pada itu, sepak bola merupakan penciptaan karya seni: seni menggetarkan jala.

 

Keindahan itu sendiri sebenarnya sudah mendarahdaging dalam tubuh Barcelona. Dalam jangkauan ruang pendengaran saya, ada tiga nama klub bola terindah sepanjang masa—tentu saja yang ini siapa pun diperkenankan untuk tidak sependapat. Selain nama “Barcelona”, ada nama Fiorentina dan Atletico Ultramas. Klub bola terakhir ini berasal dari negara di ujung timur pulau Timor: Republik Demokratik Timor Leste.

Kita agak susah berbicara tentang Barcelona tanpa berbicara tentang keindahan mengolah bola. Menonton Barcelona berlaga tidak ada bedanya dengan menyaksikan pertunjukan seni tari di panggung raksasa seukuran stadion sepak bola. Klub bola (mereka menyebutnya lebih dari sekadar klub) bernama Barcelona memang seyogyanya harus begitu. Itulah alasan walaupun pelatih dan pemainnya datang dan pergi, gaya bermain Bacelona tetap sama: indah dan menawan.

Lihat saja misalnya operan Messi pada Jordi Alba yang mengubahnya menjadi assist untuk gol Ansu Fati pada menit ke-8. Itu hasil dari kecerdasan, ketepatan dan yang paling penting, feeling. Lahirlah keindahan. Atau pada menit ke-24 ketika dengan satu tipuan cantik, Messi mengecoh Ramos sebelum mengirim tembakan yang sayangnya masih bisa diantisipasi dengan sempurna oleh Thibaut Courtois.

 

Lalu apa yang salah dengan Barcelona sehingga harus menyerah di rumah sendiri?

Untuk menyebut salah satu dari beberapa, boleh dikatakan bahwa generasi tua Barcelona tidak lagi setangguh dulu, baik dalam urusan dengan bola maupun dalam urusan memaksimalkan potensi generasi muda. Duet Pique dan Lenglet dinilai belum cukup mampu meredam pergerakan dan kecepatan para pemain Madrid atau Sergio Busquest yang tidak cukup mumpuni mendeteksi bahaya (Ini terlihat jelas dalam proses terjadinya gol Valverde).

 

Di lini depan misalnya, walaupun umpan-umpan Messi masih amat merepotkan, dalam laga ini dia kehilangan daya magis pada urusan penyelesaian. Masih ingat tipuan cerdasnya pada menit ke-24? Walaupun setelahnya hanya berhadapan dengan Courtois, Messi tetap saja gagal. Bahkan Courtois mampu membaca arah bola Messi sebelum bola ditendang.

Sebaliknya dalam partai ini para pemain muda Barcelona bermain gemilang. Ansu Fati mencetak gol, Dest bertahan dengan baik dan Pedri mampu menjaga keseimbangan permainan. Bahkan Dest beberapa kali merepotkan sisi kiri pertahanan Madrid.

Untuk meringkas, kelemahan Barcelona pada laga ini terletak pada kepemimpinan lapangan. Messi dan teman-teman segenerasinya belum cukup berkharisma untuk membangkitkan kegigihan bertarung dalam diri suksesor mereka. Padahal daya juang dan semangat pantang menyerah merupakan aspek penting dalam laga seberat El Clasico.

Apa yang menjadi kelemahan pada Barcelona, merupakan kekuatan pada Madrid.  Zidane dan Ramos adalah segala-galanya bagi jiwa permainan Madrid. Tentang kepemimpinan lapangan, dari pinggir Zidane memerintah, di tengah lapangan Ramos menerjemahkan.

Di Madrid, Ramos tidak hanya menjadi kapten tim dan tembok kokoh. Jauh daripada itu, dalam tubuh Madrid generasi ini, Ramos telah bermetamorfosis menjadi jiwa permainan. Ketiadaan Ramos di lapangan merupakan kabar buruk bagi Madrid. Sekadar contoh, pertahanan Madrid luluh lantak dalam partai melawan Manchester City pada ajang liga champions musim kemarin. Atau ketika Madrid dibantai Shaktar Donetsk di kandang pada Rabu (21/10) kemarin.

Argumen kontranya adalah keberadaan Ramos di lapangan merupakan kabar baik bagi Madrid. Dalam laga El Clasio akhir pekan kemarin, kabar baik itu benar-benar menjelma menjadi hasil baik. Madrid menundukkan Barcelona di Camp Nou dan membawa pulang tiga angka. Ramos mencetak gol, mengkoordinasi pertahanan dengan baik dan menyuntikkan semangat bagi permainan Madrid.

Orang bilang, “sekumpulan domba yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih kuat bila menghadapi sekumpulan singa yang dipimpin oleh seekor domba.” Bahayanya adalah pemain Madrid bukan sekumpulan domba melainkan sekumpulan singa yang juga dipimpin oleh singa.

 

Kumpulan singa yang sedang, sudah dan akan selalu melawan diri mereka sendiri.

Madrid melawat ke Catalunya setelah mengalami dua kekalahan beruntun di dua ajang berbeda: La Liga dan Liga Champions. Di La Liga mereka ditundukkan oleh tim semenjana, Cadiz. Sedangkan di Liga Champions, mereka takluk 2-3 dari Shaktar Donetsk. Anehnya dua kekalahan itu terjadi di rumah mereka sendiri.

Selain itu, bagi Madrid pertempuran di Camp Nou bukan hanya perkara pertempuran melawan tuan rumah, melainkan juga pertempuran melawan bayang-bayang masa lalunya. Walaupun pada tahun-tahun terakhir ini (di bawah Zidane) Madrid cenderung mengendalikan situasi El Clasico di Camp Nou, bayang-bayang banyaknya kekalahan dalam sepuluh tahun terakhir ini tetap melekat.

Dalam suasana itu, Madrid dijamu Barcelona.

Akan tetapi bukan Madrid namanya kalau tidak segera bangkit dari keterpurukan dan mengendalikan situasi. Dari hasil di Camp Nou akhir pekan kemarin, kita tahu Madrid telah mengembalikan kepercayaan dirinya dan terlebih lagi telah berhasil mengalahkan bayang-bayang masa lalu, mengalahkan diri mereka sendiri.

Mereka datang ke Camp Nou dengan penuh kepercayaan diri. Secara teknik dan materi, mereka layak untuk itu (ingat, yang kita bicarakan ini Madrid!). Semua yang dibutuhkan klub terbaik dunia ada di sana. Kharisma Ramos, ketangkasan Courtois, imajinasi Modric, kecepatan Vinicius, ketenangan Mendi, kreativitas Kroos dan kemampuan tingkat tinggi Casemiro mendeteksi bahaya. Kurang apa lagi?

 

Mereka bermain dengan lincah dan riang namun tetap tenang. Hasilnya mereka mampu mengimbangi keindahan olah bola Barcelona, dan seperti yang telah disaksikan dunia, mereka menang.

Kemenangan Madrid malam minggu kemarin adalah rangkaian siklus melampaui kegagalan. Dua kali tumbang di Alfredo di Stefano, keluar dengan kepala tegak dari Camp Nou. Pekan depan mungkin kalah lagi, tapi yang pasti mereka pasti bangkit kembali. Kalah lagi, bangkit lagi.

Itulah Madrid.

Sekumpulan singa lapar yang kian matang dari hari ke hari. Singa-singa dari dua generasi yang mampu menaklukan diri sendiri, sebelum menciptakan kesempatan merobek jantung lawan tanding.

KOMENTAR