Catatan Umrah,  Ujian untuk  Menjadi Sabar dan Ikhlas 

Hila Bame

Friday, 24-10-2025 | 09:24 am

MDN

 

 

Oleh:     Suryadi    
Pemerhati Budaya 

JAKARTA, INAKORAN

Sabar dan ikhlas sontak gampang diucapkan oleh manusia.  Akan tetapi, “justru menjadi sosok sabar dan ikhlas tidak gampang, salah satunya ‘lulus’ dalam pergaulan lekat antarbangsa”. 
Harus diakui, tantangan untuk menjadi seperti itu tidak ringan. Kerap ekstrem berbeda kebiasaan antara manusia satu dengan lainnya. Apalagi antarbangsa.
Salah satu media ujian untuk itu, tak terlalu salah bila disebutkan  momen- momen dari ibadah sunah umrah. Agaknya, sudah banyak yang merasakan ini. Fakta lanjutnya, “Sabar dan ikhlas akan terbukti selama menjalankan umrah, dan terlebih lagi setiba di Tanah Air pasca berumrah”.
Sekurangnya, hal tersebut menjadi pengalaman pribadi-pribadi dari mereka yang berumrah. Sehingga, patut dipetik hikmahnya. Substansi kesejarahan juga menyebut: “Petik pelajaran dari suatu kejadian. Jika baik, tingkatkan menjadi lebih baik lagi, sedangkan yang  keliru segera perbaiki dan jika salah segera tinggalkan”. Bukan malah digunjingkan, apalagi dimanfaatkan untuk membesar-besarkan diri untuk sekadar “bangga masa lalu”. 


INDONESIA negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Di negara berpenduduk sekitar 287 juta jiwa ini,  sebagian besar antaranya muslim.

Pada  salat-salat wajib lima waktu setiap hari, mereka kerap terlihat berjamaah di masjid-masjid atau surau-surau lingkunganya. Tak sedikit pula di antara mereka, terdapat jamaah yang sengaja singgah (musafir) untuk salat di rumah Allah itu.  

Pemandangan paling mencolok pada mereka adalah tertib. Tak cuma saat menjalankan salat sunah atau wajib, tapi  juga ketika duduk bersila menunggu datangnya waktu salat wajib berjamaah, sementara yang lain menjalankan salat sunah. 

Jamaah yang baru masuk masjid, sengaja mencari jalan lain atau jalan di belakang mereka yang tengah menunaikan salat. Apalagi, saat orang bersujud, pantang bagi mereka lewat atau melangkah tepat di depannya.

Juga, demikian saat duduk bersila sambil berzikir menunggu masuknya  waktu salat wajib untuk berjamaah. Nyaris tak ada yang tiba-tiba mengusik kekhusukan dengan “merebut” space sempit di antara dua jamaah.

Berebut
HAL sebaliknya, kerap terjadi mencolok saat salat sunah jelang salat wajib berjamaah dalam rangkaian umrah di Masjid Nabawi, Madinah atau di Masjidil Haram, Mekah. Juga, ketika duduk bersila berzikir sambil menunggu datangnya waktu salat wajib, untuk sama-sama menunaikan salat berjamaah. 

    Saling berebut mendahului dan adu kuat, juga terjadi saat mengelilingi rumah Rasulullah (sekaligus lokasi makamnya) dan anjungan tempatnya biasa berkhotbah. Keduanya berdekatan sepelurusan dalam kompleks Masjid Nabawi. 

Lokasi dan kegiatan di sini kerap disebut sebagai ziarah Raudah. Lokasi Raudah yang juga kerap disebut “taman surga” ini, diyakini  sebagai salah satu tempat mustajab untuk berdoa di tanah Suci kala berumrah. 

Amat sayang bila jamaah melintas begitu saja langsung meningalkan lokasi tersebut. Di sini mereka yang menunggu datangnya waktu salat wajib, sangat dianjurkan untuk salat sunah, berdoa, berzikir, itikaf, atau membaca ayat-ayat suci Al-Quran.  

    Pemandangan berebut serupa tadi, bukan pula merupakan hal yang langka saat tujuh kali tawaf mengelilingi kabah (kiblat arah salat) di dalam kompleks Masjidil Haram di Mekah. Menumpang bus dari Madinah ke Mekah butuh waktu tempuh sekitar tujuh jam. 

Di seputaran Kabah juga terdapat tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat mustajab berdoa meminta kebaikan pada kebesaran Allah. Misalnya, Rukun Yamani, mengusap atau bahkan mencium Hajr Aswad, kemudian sejenak berdoa di Makam Ibrahim AS, dan berdoa di Hijri Ismail. Pada rangkaian ini dinilai sangat beruntung bagi yang “kesampaian”  berhasil mencium Hajar Aswad dan berdoa di Hijr Ismail.

Masih di dalam kompleks Masjidil Haram, di antaranya jamaah  melakukan sai (lari-larii kecil) tujuh kali melintasi  lokasi Safa – Marwah. Jarak antara Safa dan dengan Marwah sekitar 450 meter.

Antara Safa dan Marwah serta melintasi seputaran kabah sebelumnya (lengkap dengan tempat-tempatnya yang telah disebutkan tadi) dan Raudah di Madinah, merupakan Rukun Umrah. 

Tanpa itu memenuhi rangkaian itu semua, jamaah belum bisa mengklaim diri telah berumrah. 

Panggilan Allah
SEBAGAIMANA jamaah asal Idonesia umumnya, penulis ikut merasakan berdesak-desakan berebut saling mendahului selama menjalankan seluruh Rukun Umrah, beberapa waktu lalu (awal hingga pertengah September 2025). 

Di bawah panas terik matahari yang amat menyengat kala pagi hingga siang, selalu kalah bersaing fisik dan tenaga. Jamaah yang fisiknya kecil dan dalam kategori bawah rata-rata, harus menahan diri di tengah berjejal-jejalnya manusia. 

Satu pemandangan “yang biasa” ketika jamaah sudah mendekat Hajar Aswad atau akan berdoa di Hijr Ismail, tiba-tiba tergeser paksa oleh desak-desakan jamaah yang lain yang berbadan kekar dan bertenaga lebih kuat.

Toh dalam kondisi demikian tak sampai terjadi saling marah, apalai bertikai antarjamaah. Semua tetap mengikuti Rukun Umrah. Semua sabar dan ikhlas menerima kenyataan. 

Jangan tak yakin, di tengah kondisi semacam itu, selalu ada saja di antara para jamaah yang diberi kemudahan oleh Allah Swt. Selalu saja ada yang berhasil memegang, bahkan mencium Hajr Aswad atau berdoa di Hijr Ismali. Lega!

Penulis sendiri “dapat” pergi berumrah ke Tanah Suci, yang membutuhkan biaya tidak sedikit (minimal untuk ukuran saku penulis), atas seseorang yang berbaik hati memberangkatkan. Ia tak mau disebutkan namanya. Riya’!

Padahal, penulis sudah beralasan harus izin dulu kepada istri. Apalagi istri sedang terbaring karena stroke berkepanjangan. “Izin istri, harus lah itu. Tapi patut diketahui, di Tanah Suci banyak tempat mustajab untuk berdoa meminta kepada Allah Swt. Apa pun keputusanNya, itu adalah h prerogatif-Nya,” begitu katanya ketika meminta penulis siap-siap untuk berumrah seraya menelepon perusahaan travel yang melayani umrah.

Ketika dimintai izin, istri yang terbaring stroke mendesak penulis memenuhi permintaan sosok baik hati itu. “Dia itu memilih kamu untuk berumrah, mustahil kalau dia tak digerakkan oleh Allah Swt. Di sana doakan semua yang tinggal di Tanah Air,” pintanya tulus. 

Semua jadi klop.  Seorang Ibu yang sehari-hari biasa membantu di rumah punya peran tidak kecil untuk keberangkatan penulis. “Bapak harus berangkat, biar Ibu di rumah saya yang urus. Apalagi, beberapa bulan yang lalu Bapak menolak berangkat umrah ketika ponakan Bapak akan memberangkatkan,” kata Bu Siti.   

Maka jadilah penulis berangkat ke Tanah Suci. “Itu kalau bukan sudah panggilan Allah mana mungkin terjadi begitu, Pak. Apa yang tak mungkin di mata manusia, sangat mungkin sebaliknya bagi Allah Swt,” kata Nur Zainab, tour leader kelompok ketika perihal berangkatan itu diungkapakan kepadanya di Madinah.

Benarlah bila dilihat kenyataan yang dikemukan Nur tadi. Hari ketiga berada di Madinah, penulis menerima pesan singkat via telepon gengam dari istri di Tanah Air. 

Dia bukan mendadak bisa berjalan bebas, tapi pesan singkatnya tersusun rapi, beraturan, dan logis. Ini tak seperti biasanya. Dia harus mengetik dengan tangan sebelah (kanan) saja. Tambahan daya pikirnya sudah mulai berkurang. Wajar kalau sebelum ini ketikannya banyak yang kacau. “Semoga ini tanda-tanda kebaikan yang Allah ijabah!” batin penulis. 

Bahwa ibadah sunah Umrah (atau berhaji yang diwajibkan bila mampu), punya nilai tersendiri, penulis jadi bertambah meyakininya. Bayangkan sebuah usaha travel dan umrah yang baru dibuka pertengahan Oktober 2025, sudah diminati banyak Muslim. Tentu saja, ditambah pula oleh nilai-ilai sakral yang dikandung oleh ibadah sunah Umrah. 

“Kita itu melayani tamu-tamu Allah. Sudah 15 yang mendaftar berangkat umrah untuk Desember 2025, Pak. Mereka itu dari Lampung dan Bali,” kata Bambang Srikandi Zhafira, pengurus usaha itu kepada penulis. 

Nilai Tersendiri
BENARLAH bahwa ibadah sunah (dan berhaji bila sudah mampu) punya nilai yang tak mampu ditangkap secara kasat mata. Itu semakin meyakinkan penulis. Bayangkan, istri yang terbaring stroke, mendesak agar memenuhi kembaikan hati yang memberangkatkan  penulis umrah.

Keyakin tersebut semakin tinggi ketika mendapati kenyataan di Tanah Suci yang harus berjuang agar bisa berumrah sebaik-baiknya di mata Allah Swt. Padahal, ini tak masuk akal bakal bisa dijalani tengah “persaingan” berjejal dengan mereka yang memiki fisik tinggi kekar dan bertenaga kuat.

“Sabar” oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Depdiknas – Balai Pustaka diberi arti “tabah menghadapi cobaan” dan “tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu-buru (hal: 973). Sementara kata “Ikhlas” diberi arti “bersih hati” dan “tulus hati” (hal: 420).

Membandingkan arti yang diberikan KBII  atas kata “sabar” dan “Ikhlas” itu dengan realitas “persaingan” ketika jalankan Rukun Umrah tadi, terasa sangat berat. 

Akan tetapi, realitasnya dapat berlangsung tanpa harus terjadi insiden yang sangat tak diinginkan di antara ratusan ribu jamah datang dan pergi, setiap harinya. Sampai di sini muncul pertanyaan, mungkinkan “Ikhlas” terwujud tanpa “sabar” pada setiap manusia. 

Bahkan, begitu pentingnya “Ikhlas” dalam sendi-sendi kehidupan, Abdul Azis Sa’du, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai-sampai menyusun buku “Tips Jitu Ilmu Ikhas, Agar Niatmu Mendapat Barakah” (2011). 

Tentu saja, penyusunan buku tersebut, dikandung maksud, agar segenap muslim memandang pentingnya “Ikhlas” di setiap langkah memberi atau menerima kenyatan hidup. Pahit getir, juga kesenangan, semua itu adalah goda cobaan.    

Berumrah adalah Ibadah yang penting dihikmahi oleh “sabar” menuju “Ikhlas” yang teruji. Terlalu mahal bila sepulang umrah, tak berbuah sabar dan Ikhlas! **
 

TAG#SURAYADI

211339490

KOMENTAR