Dilema Kawin (Siri) Tumpeng

Hila Bame

Wednesday, 27-10-2021 | 23:17 pm

MDN

 

 

YOGYAKARTA, INAKORAN

Perkawinan adalah salah satu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia, yang dirayakan dan disyukuri pasangan yang melakukan perkawinan, orangtua, dan handai taulannya.

 

Dalam administrasi kependudukan, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting kependudukan, yang harus dicatatkan ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, mensyaratkan adanya pengesahan dari agama sebelum pencatatan perkawinan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


BACA: 

Pandemi dan Peristiwa Kependudukan

 


 

Pencatatan perkawinan di Indonesia dibedakan menjadi 2 jenis pencatatan yaitu, pencatatan perkawinan bagi Muslim di KUA dan pencatatan perkawinan bagi agama Hindu, Katolik, Buddha, Kristen dan lain-lain pada dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Penduduk beragama Islam, juga mengenal adanya istilah kawin siri, namun ternyata terdapat beberapa hal menarik.

 

Hal ini terungkap dalam perbincangan tim IKI yang terdiri dari Prasetyadji, Eddy Setiawan, dan para Relawan IKI Kabupaten Karanganyar yaitu Tini, Ning, Citra dan Wiyati saat audiensi dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karanganyar Ibu Any Indrihastuti.


BACA: 

IKI Membantu Warga Tionghoa Sragen Mendapatkan Dokumen Kependudukan 

 


 

Audiensi dilakukan pada Rabu, 27 Oktober 2021 di Kantor DInas Dukcapil Kabupaten Karanganyar, yang tampak bersih dan tertata serta menerapkan protokol kesehatan.

Parkir bagi perempuan dan penyandang disabilitas juga tampak di bagian depan kantor.

Ketika perbincangan sampai pada isu perkawinan, Any menyampaikan bahwa selama ini di wilayahnya terdapat banyak penduduk yang ternyata menyatakan telah melakukan perkawinan siri, namun menurut pengadilan agama pengakuan seperti itu harus diikuti dengan verifikasi.

 

Penduduk beragama Islam yang bermaksud mengurus dokumen Kartu Keluarga, kerap menyatakan telah melakukan perkawinan siri dan meminta dukcapil untuk mencatatkan mereka dalam 1 KK sebagai pasangan suami isteri, tentu dengan keterangan

 

“Perkawinan Tidak Tercatat”. Namun Pengadilan Agama menyarankan agar penduduk demikian, pertama-tama mengurus ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan surat keterangan terkait perkawinan sirinya, sebelum kemudian diproses di dinas dukcapil.

 

 

Akhirnya ditemukan fenomena menarik, karena ternyata sebagian besar penduduk yang menyatakan telah melakukan perkawinan siri ternyata setelah diverifikasi pengadilan agama, perkawinan sirinya tidak memenuhi syarat.

 

Usut punya usut ternyata yang dimaksud kawin siri oleh masyarakat adalah perkawinan yang umum disebut kawin tumpeng, sehingga tidak memenuhi persyaratan perkawinan siri sebagaimana seharusnya.

“Ini implikasinya banyak, diantaranya status anak hasil perkawinan seperti ini akan tetap anak seorang ibu.” ujar salah satu kadis perempuan yang penuh inovasi ini.

 

Perkawinan semacam ini sesungguhnya tidak memberikan perlindungan bagi perempuan yang dinikahi, karena statusnya ternyata tidak dapat dikategorikan sebagai suami isteri yang sah.

 

Apalagi bila pengadilan menyatakan perkawinan sirinya tidak sah, maka statusnya jelas bukan suami isteri, dan anak-anaknya secara hukum tidak memiliki hubungan dengan pria yang secara biologis adalah ayahnya tersebut.

 

Kaum perempuan dan masyarakat perlu diedukasi mengenai hal ini, agar ke depan lebih sadar untuk melakukan perkawinan yang sah secara agama dan kemudian dicatatkan di KUA bagi yang beragama Islam, dan di DIsdukcapil bagi yang beragama lainnya, sehingga status perkawinan di Kartu Keluarga adalah “Perkawinan Tercatat”. @esa

TAG#IKI

166091726

KOMENTAR