Dokumen Wangkung 2011 Penuh Rekayasa dan Konspirasi Jahat

Hila Bame

Saturday, 16-01-2021 | 12:26 pm

MDN
Hendrik Jempo (tua gendang) dan Bone Bola (tua Golo) masyarakat adat Terlaing

Siaran Pers Masyarakat Adat Terlaing

 

Jakarta, INAKORAN

 

Dengan memanfaatkan dokumen rekayasa Wangkung 2011 ini, para ahli waris DG Turuk mendesak BPN Manggarai Barat untuk membatalkan ratusan Sertifikat Tanah Adat Terlaing di Lingko Menjerite dan Nerot, Desember 2020 lalu. Padahal dokumen-dokumen tanah ini sudah lengkap persyaratan, mulai alas hak dan  sudah bayar administrasi ke negara, demikian Siaran Pers Masyarakat Adat Terlaing, yang diterima Inakoran.com Sabtu (16/1/21)

https://www.patrolipost.com/wp-content/uploads/2019/11/boleng.jpg
Hendrik Jempo (tua gendang) dan Bone Bola (tua Golo) masyarakat adat Terlaing
 

 

                  Mendesak BPN Manggarai Barat untuk membatalkan ratusan Sertifikat Tanah Adat Terlaing di Lingko Menjerite dan Nerot, Desember 2020 lalu. Padahal dokumen-dokumen tanah ini sudah lengkap persyaratan, mulai alas hak dan  sudah bayar administrasi ke negara.

 

 

Pada Januari 2011, dua Kepala Desa di wilayah Tanjung Boleng yaitu Kepala Desa Tanjung Boleng, Bapak Simon Sudin (alm) dan Kepala Desa Pota Wangka, Bapak Antonius Ajua adakan pertemuan di Wangkung, Boleng, Manggarai Barat.

 

Topik pertemuan ini membahas Tanah Pekuburan Umum dan  tanah masyarakat Rangko di lokasi Menjerite.  Tanah di Menjerite ini diklaim oleh banyak pihak.

 

Pertemuan itu dihadiri sejumlah peserta tetapi prosesnya berantakan karena terjadi keributan dalam pertemuan itu. Pemicu keributan adalah saudara Lukas Aman dari Mbehal (bukan tua Golo) melontarkan pernyataan bahwa masyarakat Terlaing itu tidak ada dan hanya sebagai riang (penjaga saja). Pernyataan saudara Aman ini memicu kemarahan para peserta dari masyarakat adat Terlaing. Yang hadir dari Terlaing hanyalah masyarakat biasa, sementara tokoh adatnya sengaja tidak diundang. Demikian penjelasan Hendrik Jempo.

 

Meski pertemuan itu bubar  tidak dilanjutkan dan hanya berlangsung sehari, tetapi anehnya menghasilkan sebuah berita acara tentang hasil pertemuan itu. Dalam berita cara disampaikan bahwa Tanah Pekuburan Umum dan posisi Lingko Menjerite tidak ada masalah.

 

Salah satu poin  krusial dari berita acara yang penuh rekayasa dan konspirasi adalah kampung Terlaing tidak punya hak di atas tanah Rangko atau di atas tanah Menjerite  karena tidak punya compang dan gedang berdasarkan pengakuan Beo Mbehal.

 

Hasil berita acara ini tampak sekali ada rekayasa dan konspirasi,  maka pada tanggal 29 Januari 2011, Bapak Mikael L. Royman, Camat Boleng ketika itu menyurati Bupati bahwa hasil pertemuan itu bohong hingga dibatalkan atau tidak berlaku. Menurut pak Camat, pertemuan itu hanya mengadu domba masyarakat Boleng saja.

 

Tudingan rekayasa makin kuat karena dalam hasil berita acara itu tidak ada tanda-tangan Tu’a Golo Mbehal Yosef Serong (masih hidup). Demikian bunyi surat Camat Boleng ke Bupati. Tampaknya, tokoh adat ini tidak mau terlibat dalam dokumen yang penuh rekayasa dan konspirasi itu, jelas Jempo.

 

Ketika Jempo menanyakan kepada Abdulah Duwa, warga Rangko,  tentang   hasil pertemuan Wangkung itu, dijawab bahwa pertemuan itu bubar tidak ada hasil. Demikian pula pernyataan Antonius Ajua, Kepala Desa Pota Wangka bahwa pertemuan itu gagal, tidak ada hasil.

 

Tetapi hasil pertemuan  itu tetap dibuat dalam bentuk Berita Acara  hanya untuk memenuhi pertanggung-jawaban  kepada Bupati karena diduga sudah menggelontorkan dana, tambah Jempo.

 

Perkembangan selanjutnya, Abdullah Duwa menanggapi surat pembatalan Camat Boleng itu  dengan menggunakan kuasa hukum Eduardus W Gunung. Ini aneh dan tidak masuk akal. Produk dua kepala Desa, Kepala Desa Tanjung Boleng dan Kepala Desa Pota Wangka yang dibatalkan oleh Camat dengan  surat ke Bupati, lalu tiba-tiba Duwa menggugat dokumen penuh rakayasa itu  dengan pakai  kuasa hukum, Edu W. Gunung, apa dasar dan hubungannya?, ujar Jempol lagi.

 

Ternyata belakangan ketahuan, para ahli waris DG Turuk ini menggunakan dokumen rekayasa ini untuk kepentingan atas  tanah-tanah, yang mereka serobot  di Lingko Menjerite dan Nerot. Kasus penyerobotan ini sempat heboh beberapa waku yang lalu karena semena-mena mereka menghibahkan tanah ini ke Kodam Udayana.  Mereka  diduga mengadu domba antara masyarkat adat dengan TNI hanya untuk kepentingan pribadi.  TNI sudah mengembalikan tanah adat ini ke masyarakat adat Lancang dan Terlaing.

 

Kemudian Haji Ramang, fungsionaris Dalu Nggorang menegaskan bahwa Lingko Nerot dan Menjerite adalah milik masyarakat Lancang dan Terlaing.

 

Dengan menggunakan dokumen rekayasa ini para ahli waris DG Turuk  membawa dokumen ini ke BPN Manggarai Barat  sebagai senjata untuk membatalkan ratusan sertifikat warga adat Terling di Menjerite dan Nerot. Ini benar-benar jahat, ujar Jempo lagi. Sayangnya, BPN hanya mendengar aduan sepihak saja. 

 

Kejanggalan lain, dalam pertemuan Wangkung itu, menempatkan Abdullah Duwa atau Semai sebagai Tua Golo. Padahal Rangko tempat kediaman kedua orang ini bukan Kampung adat. Rangko   adalah kampung nelayan yang sebagai besar penduduknya pendatang, termasuk Duwa dan Semai.  Di Rangko tidak ada gendang, tidak ada Compang, tidak ada tanah adat.

 

Dokumen Wangkung ini juga diduga, dimanfaatkan oleh Bonafantura Abunawan, Camat Boleng,  dalam membuat rekayasa peta baru dengan memasukan Lingko Nerot dan Menjerite, ke dalam  ulayat Mbehal, tanah sukunya. Atas kasus ini juga ia  dipenjarakan di Kupang belum lama ini.

 

 

 

KOMENTAR